Thursday, November 30, 2017
Dita 1 : Selingkuh Pertama
Terus terang di masa remaja aku sedikit ‘bebas’. Layaknya remaja seumuranku, internet berperan besar dalam pergaulanku. Sebelum berpacaran, internet sudah meracuni pikiranku. Racun itu mempengaruhi birahiku. Meraba daerah-daerah sensitif menjadi rutinitasku. Sampai akhirnya aku memiliki pacar. Saat berpacaran meraba bukan lagi tugasku, itu tugas pacarku.
Sebulan setelah ospek SMU, beberapa orang kakak kelas menyatakan cintanya padaku. Kuterima cinta salah satunya. Dia seniorku, anak eskul basket. Bersamanya pertama kali aku melakukan kontak fisik. Kontak fisik sebatas petting saja tentunya. Ciuman dan rabaan, tanpa melepas pakaian. Masa pacaran kami hanya bertahan setahun. Setelah itu, beberapa laki-laki bergantian menjadi pacarku. Diantaranya petting juga denganku. Diantaranya bahkan bertelanjang ria denganku. Rata-rata berlangsung relatif singkat, sampai aku memasuki akhir masa kuliah.
“Sakit?”
Masih kugigit bibir bawahku. Aku membuka mata.
“Sedikit.”
Aku berbohong. Dibawah sana sakit sekali. Dibawah sana ada sebatang penis dalam vaginaku. Itu pertama kalinya aku disetubuhi. Keperawananku akhirnya kulepas saat semester ketiga. Laki-laki beruntung itu adalah Hendra. Laki-laki yang kini menjadi suamiku. Dia delapan tahun lebih tua dariku. Hubungan kami tidaklah begitu mulus. Ada pasang surut dan putus nyambungnya. Sampai menjelang kelulusanku, akhirnya kami menikah.
Menikah sedikit banyak meredam birahiku. Birahi tinggiku mampu dipuaskan oleh suamiku. Diawal pernikahan, tidak ada hari kami lewatkan tanpa seks. Berbagai gaya senggama kami praktekkan. Adanya penis dalam vaginaku kini menjadi kebutuhan. Seks membuatku kecanduan.
“Berapa lama Mama diklatnya?”
“Sebulan Pa.”
Tiga bulan menikah, aku diterima disebuah bank negeri. Sebagai pegawai baru aku diwajibkan ikut diklat. Suamiku tidak menghalangi. Dia mendukungku untuk berkarier. Apalagi saat itu kami belum memiliki anak. Tidak ada yang perluku khawatirkan, kecuali rasa kangen tentunya.
Malam sebelum keberangkatan kami berhubungan seks. Seks terlama yang pernah kami lakukan. Seakan kami sama-sama tidak ingin berpisah. Saat kami lelah, hari sudah menjelang pagi. Aku terpaksa tidur dalam pesawat.
***
Minggu pertama diklat tidak begitu berat. Ditengah jadwal diklat yang padat, teman-teman baru membuatku bersemangat. Memasuki tengah minggu kedua, gejolak birahi mulai mengganggu konsentrasi. Tidak pernah aku berpuasa seks selama ini. Phone sex bersama suami cukup mengobati. Demikian juga dengan masturbasi. Hanya saja aku butuh lebih dari semua ini. Aku butuh penetrasi. Aku tahu hal itu tidak mungkin terjadi. Walau penis suami terus membayangi, aku harus kuat menahan diri.
“Dita, kita sekelompok nih.”
Seorang laki-laki menghampiriku.
“Iya nih.”
Jadwal diklat dua hari lagi akan berakhir. Diakhir ada tugas yang harus kami selesaikan. Tugas ini wajib dibuat berkelompok. Panitia membagi kami menjadi beberapa kelompok. Setiap kelompok terdiri dari empat orang, dipilih secara acak.
Salah satu kelompokku adalah laki-laki yang menyapaku tadi. Sebut saja namanya, Edi. Selama pelatihan kami sudah cukup dekat. Dari awal dia kerap mendekatiku. Ada saja alasannya untuk bisa berbicara denganku. Instingku berkata dia tertarik padaku. Edi orangnya cukup lumayan. Selain dari tampilan fisik, juga dari sikap. Dia ramah dan supel. Dia juga pintar menghidupkan suasana dengan joke-joke nya.
“Bagaimana kalo bikin tugasnya sambil makan siang?”
“Aku sih mau aja. Bagaimana sama yang lain?”
“Tadi aku sudah ketemu sama Rina, dia mau. Cokro yang belum tahu nih.” Edi melirik kearah kerumunan orang didepan kami. “Nah, itu mereka.”
Dia berteriak memanggil dua teman kami. Mereka berdua lalu berjalan mendekati kami.
“Bagaimana kalo kita bikin tugas sambil makan siang? Aku tahu tempat yang pas buat kumpul.”
Edi kembali mengurakan idenya.
Setelah makan siang tidak ada lagi jadwal diklat. Jadwal diklat berikutnya adalah besok pagi. Saat itu peserta wajib mempresentasikan tugas kelompok mereka, termasuk kami tentunya. Setiap kelompok dipersilakan memilih sendiri tempat mengerjakan tugas.
Rina menjawab terlebih dahulu. “Aku sih oke-oke aja. Pengen keluar juga nih, mumet liat tempat ini melulu.”
Kami tertawa mendengarnya. Persetujuan yang sama juga diutarakan Cokro.
“Bagus deh. Yuk kalo gitu kita berangkat sekarang.”
Kami pun berada di dalam mobil Edi. Edi bukan peserta dari luar kota. Dia bisa dibilang peserta tuan rumah. Maka dari itu dia membawa transportasinya sendiri.
“Bagaimana enak kan Dit?”
Aku mengangguk. “Enak, cuma sambelnya agak pedes.”
Dia tertawa kecil melihat wajahku yang memerah.
Edi mengajak kami ke sebuah restoran bernuansa tradisional. Tempat makannya dibuat menyerupai bilik-bilik bambu. Satu bilik dengan bilik lain disusun terpisah-pisah. Suasananya sangat nyaman. Sepertinya dia mengenal pemilik restoran itu, sehingga kami bisa berlama-lama disana. Selesai makan, kami membahas tugas kelompok yang akan kami presentasikan. Hari sudah menjelang gelap ketika kami selesai. Kami pun meninggalkan restoran.
“Kita jangan langsung balik ke mess yuk, kita lanjut hang out aja gimana?” ucap Edi dari belakang kemudi.
“Aku ngantuk nih, mana gerah lagi.” sahut Rina.
Jawaban yang sama juga diberikan Cokro. “Sorry bro, gue juga tepar. Kebanyakan mikir nih, otak gue overload.”
Kami tertawa kecil mendengarnya.
“Kalo kamu gimana Dit? Mau beli oleh-oleh sekarang? Mumpung ada transport gratis nih.”
Aku bingung antara menolak dan setuju. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Jika setuju, terlalu malam untuk berduaan dengan laki-laki. Jika menolak, apakah nanti akan ada waktu lagi untuk berbelanja. Diawal perkenalan, Edi memang menawari untuk mengantarku keliling kota. Sekedar melihat-lihat atau membeli oleh-oleh. Akan lebih nyaman jika kami berkeliling tidak hanya berdua. Bagaimana pikiran orang kalau melihat kami. Aku dan Edi kan sama-sama sudah berkeluarga. Tapi apa yang mau dikata. Keadaan yang membuat kami tidak bisa mengajak teman lain.
“Kalo ngantuk juga? Aku sih nggak maksa loh,” sambung Edi lagi.
“Hhmm boleh deh, tapi jangan jauh-jauh ya.”
Edi tersenyum. “Siap komandan.”
Selepas mengantar balik kedua teman kami, Edi langsung mengajakku ke sebuah toko souvenir. Aku tidak menemukan apa yang kucari disana. Mengetahui itu, Edi memaksa mengantarku ke toko yang lain. Aku menolak, tapi dia terus memaksa. Akhirnya kutemukan setelah memasuki toko ketiga. Aku sedikit malu dengan Edi, walau dia terus berkata tidak keberatan. Hari beranjak semakin malam. Dia sampai ditelpon istrinya. Dia berbohong sedang bersama rombongan peserta diklat. Aku juga ditelpon suamiku. Kukatakan kebohongan yang sama. Kebohongan pertamaku sejak kami menikah.
“Di deket sini ada night club asyik loh. Mau mampir nggak?”
“Nggak ah, udah malem nih.” tolakku.
“Ayo dong, bentar aja. Ada live band juga loh.”
“Pake pakaian gini?”
Kami memang belum berganti pakaian. Kami masih memakai seragam putih hitam. Ketika mengantar kedua teman tadi, aku tidak mengganti pakaian. Aku takut kalau mampir lagi ke mess, baliknya akan terlalu malam. Selain itu, kulihat juga Edi tidak membawa pakaian ganti.
“Emang kenapa kalau kita pake pakaian ini?”
“Ya nggak enak aja.”
Aku bingung harus menjawab apa.
“Ayo dong. Abis live band kita balik ke mess, janji.”
Aku luluh. Sejak menikah aku memang tidak pernah lagi hang out. Dalam hati ingin juga aku mengenang masa-masa itu. Mumpung ada kesempatan kenapa tidak, pikirku. Aku mengiyakan ajakan Edi. Dia menyambutnya dengan antusias.
Night club yang kami tuju ternyata cukup ramai. Kenangan masa muda langsung menyelimutiku. Aku langsung klik dengan suasana temaram dan hingar bingarnya. Edi tersenyum melihatku. Agaknya dia bisa menangkap kalau aku juga menikmati.
“Keren ya musiknya!”
“Iya keren!”
Kami sampai harus sedikit berteriak. Kerasnya alunan musik menghalangi suara kami.
Ditempat itu Edi juga memiliki beberapa kenalan. Sebuah mix martini diberikan pada kami sebagai welcome drink. Begitu memasuki kerongkongan, aku tahu kalau ada alkohol dalam campurannya. Bukan sebuah masalah buatku. Alkohol juga pernah mengisi hidupku dimasa kuliah. Melihat itu, Edi dengan sukarela merogoh dompetnya mentraktirku beberapa gelas lagi. Bukan minuman beralkohol tinggi tentunya. Aku juga tidak ingin mengalami sakit kepala saat terbangun besok. Aku masih cukup sadar, besok masih ada jadwal diklat yang harus ditempuh.
Live band mulai beraksi. Aku tidak begitu jelas mendengar nama band-nya. Aliran musiknya pop rock. Sang vokalis pintar memancing emosi penonton. Suasana menjadi semakin meriah.
“Gimana band-nya? Keren juga kan?”
“Iya nih, musiknya asyik,” ucapku sambil menggoyangkan tubuhku.
Beberapa kenalan Edi datang dan pergi. Sesekali kali ada yang ikut ngobrol dengan kami. Bahkan ada juga yang mentraktir kami minuman. Aku tidak bohong, aku benar-benar enjoy dengan suasananya. Rasa penat semalam mengikuti diklat sejenak menghilang. Ditambah Edi kerap membuatku tertawa dengan joke-joke segarnya. Belum lagi joke-joke porno yang mampu membuatku geli.
“Turun yuk.”
Edi berdiri dan menarik tanganku.
“Nggak ah,” tolakku.
“Ayo dong. Ayo,” desaknya lagi.
Untuk kesekian kalinya aku tak kuasa menolak. Aku mengikutinya. Kami pun berbaur dengan orang-orang lain. Awalnya aku canggung menggerakkan tubuhku, namun Edi bisa membuatku santai. Aku pun perlahan mulai menikmati alunan musik. Kami berdua bergerak luwes sambil menertawai gaya masing-masing. Sampai alunan musik DJ berubah menjadi slow. Edi memeluk tubuhku. Mendadak suasana menjadi sedikit panas, ketika Edi mendaratkan ciuman dibibirku.
Sejenak aku tersentak. Sekujur tubuhku kaget mencerna ciuman itu. Tiga minggu lebih tidak disentuh, membuat tubuhku sensitif. Pelukan dan ciuman Edi terasa begitu nikmat. Mungkin beberapa gelas alkohol tadi turut mempengaruhi reaksiku. Melihat aku terdiam, Edi mendaratkan ciuman kedua. Kali ini dia memagut bibirku. Gilanya, aku membalas pagutan itu. Kami berciuman dengan panasnya, tanpa memperdulikan sekitar.
Entah apa yang terjadi kemudian, tiba-tiba saja kami sudah di dalam mobil. Kami kembali berciuman. Kali ini tangan Edi ikut beraksi. Kedua payudaraku diremas-remasnya. Ini membuat kemeja yang kupakai kusut. Ini juga membuat celana dalamku basah. Sepertinya Edi menyadari itu, ketika tangannya merogoh masuk ke dalam rokku.
Puas mencumbuiku, Edi menyalakan mobilnya. Aku tak bertanya kemana dia akan membawaku. Aku terlalu malu. Malu sekaligus terlalu bergairah untuk berbicara. Sepanjang jalan kami hanya diam. Dalam diam kami tahu, kalau ada dua gairah yang sedang membara.
Mobil yang kami kendarai berhenti di sebuah hotel. Hanya itu yang aku ingat. Sisanya, tahu-tahu Edi sudah menindihku di atas ranjang. Kami melanjutkan percumbuan kami yang sempat terputus. Birahi yang membara membuatku lupa. Aku lupa kalau laki-laki yang mencumbuiku belum lama kukenal. Parahnya lagi, aku lupa sudah terikat dalam tali pernikahan. Aku sudah dilanda gairah tingkat tinggi, dan itu harus segera dituntaskan. Itu saja yang terpenting.
“Sshh.. sshh.. sshh..”
“Sshh.. sshh.. sshh..”
Entah kapan pakaianku dilepas Edi. Aku tidak merasakannya. Yang kurasakan hanyalah cumbuannya. Kulumannya diputingku. Ciumannya disekujur tubuhku. Tarian lidahnya di daerah selangkanganku. Puncaknya, hujaman penisnya di dalam vaginaku. Penis milik laki-laki lain, selain suamiku. Penis yang seharusnya tidak berada di dalam sana. Namun, kenikmatan yang aku rasakan mengalahkan segalanya.
“Aaahh.. aaahh.. aaahh..”
“Ooohh.. ooohh.. ooohh..”
Teriakan dan eranganku memenuhi seisi kamar. Demikian juga lenguhan Edi.
Tanganku menggenggam erat sprei, saat Edi menggarapku dalam posisi doggie. Entah berapa kali kami berganti posisi. Aku hanya merasakan posisi tubuhku berubah-ubah beberapa kali. Hujaman penis Edi makin lama makin nikmat kurasakan. Semakin cepat penis itu menghujam semakin aku menggila. Sampai akhirnya, muntahan orgasme melandaku.
“AAKKHH..!!”
Aku berteriak lantang. Tubuhku melengkung. Tubuh Edi mengejang. Bersamaan dengan itu semprotan hangat memenuhi rahimku. Tubuh kami ambruk di ranjang. Ketegangan berlahan mereda. Berlahan yang terdengar hanya tarikan nafas kami. Tarikan nafas yang semakin tenang.
Mataku menatap kosong ke langit-langit kamar. Otakku belum bisa mencerna apa yang baru terjadi. Sekujur tubuhku berteriak penuh kepuasan. Dahagaku akan seks baru saja terpenuhi. Tadi nafasku bak pelari yang baru mencapai finis. Perlahan kesadaranku pulih. Perlahan kusadari baru saja disetubuhi Edi. Aku menyesalinya, sekaligus menikmatinya.
“Kamu luar biasa Dita.”
Kalimat pertama yang bisa kucerna. Sebuah ciuman mendarat di pipi dan keningku. Ciuman itu berakhir dibibirku. Kembali aku tidak tahu harus bereaksi apa. Tubuh telanjang Edi sudah berada diatasku lagi.
“Kamu menikmatinya?”
Aku menatap matanya. Gilanya, aku menjawab dengan anggukan. Entah dimana akal sehatku. Dia tersenyum penuh kepuasan.
Tak berapa lama, kami sudah kembali bergumul. Untuk kali ini tidak hanya Edi yang aktif, aku pun melakukan hal yang sama. Bahkan, persetubuhan kedua diselingi kulumanku pada penisnya. Diselingi juga goyanganku dalam posisi woman on top. Birahi tinggiku telah menguasaiku sepenuhnya. Aku menggila.
“AAKKHH..!!”
Orgasme kedua kuperoleh menjelang tengah malam. Tetap tidak ada percakapan antara kami setelahnya. Hanya melalui tatapan mata, persetubuhan ketiga kami mulai. Disusul persetubuhan keempat dan seterusnya. Entah berapa kali kami melakukannya. Hari menjelang pagi, ketika akhirnya kami tertidur pulas.
Paginya aku terbangun mendengar nada ponselku. Aku terbangun telanjang dalam pelukan Edi. Langsung kusambar sebuah kemeja. Entah itu milikku atau milik Edi. Selesai memakainya, aku berhasil menemukan ponselku. Rupanya panggilan dari suamiku. Aku memang memintanya menelpon setiap pagi selama diklat. Sekedar menjaga-jaga agar aku tidak bangun kesiangan.
“Halo sayang,” ucapku parau.
Rasa bersalah langsung menderaku. Mengucapkan kata ‘sayang’ saat tubuh lengket oleh sperma laki-laki lain, membuatku risih. Mendadak aku merasa sebagai istri yang tidak bertanggung jawab. Belum genap enam bulan usia pernikahanku, aku sudah berselingkuh. Aku kesal dengan diriku. Kekesalanku bertambah saat kulihat lelehan putih dipahaku. Kusadari kalau semalam aku melupakan satu hal penting. Kondom.
“Kamu udah bangun?”
Terdengar suara suamiku diujung telpon.
“I-iya, baru aja.”
“Ya udah, kalo gitu buruan mandi. Sekarang diklat hari terakhir kan?”
“Iya sayang, makasi ya sudah nelpon.”
Sebuah kecupan jauh mengakhiri percakapan kami. Kulihat Edi masih tidur dengan nyenyaknya. Kami seharusnya tidak ada lagi ditempat ini. Jam segini seharusnya kami sudah di mess. Jika tidak buru-buru, maka kami bisa terlambat mengikuti jadwal diklat. Kugoncang-goncangkan tubuhnya sambil memanggil namanya.
“Edi, Edi, bangun!”
Akhirnya aku bisa membangunkan Edi. Dia juga panik ketika melihat jam tangannya. Untuk menghemat waktu kami masuk kamar mandi berdua. Toh, dia sudah melihatku telanjang jadi buat apa malu lagi. Pikiranku saat itu. Di sana baru kuperhatikan tubuh Edi secara jelas, khususnya bagian penis. Penis itulah yang semalam berkali-kali memberikanku kepuasaan. Seukuran suamiku, hanya diameternya lebih besar. Melihat tubuh polosku, Edi minta melakukan quicky sex.
“Nggak Di, nggak!”
Awalnya kutolak, tapi lagi-lagi aku dibuat tidak berdaya. Aku pun hanya bisa kesal dalam ketidak-berdayaan. Untuk kesekian kalinya penis itu ada didalamku. Disetubuhinya aku dari belakang. Hanya kali ini aku sempat mencegah spermanya mengalir dirahimku. Sesuatu yang sudah terlambat pastinya.
“Edi, balikin, balikin!”
Kesekian kalinya aku dibuat kesal olehnya. Sudah tahu kami akan terlambat, dia masih saja mempermainkanku. Dia menyambar celana dalamku. Dibuatnya aku berlarian berusaha merebut dari tangannya.
“Santai aja Dit, aku sudah nelpon tempat diklat bilang kita terlambat.”
“Kamu bilang apa?” tanyaku sambil memakai celana dalam.
“Aku bilang kamu mendadak sakit, jadi aku anter kamu dulu ke klinik.”
Harus kuakui selain ngeselin, Edi adalah sosok yang menarik dan cerdas. Kuakui juga kalau aku sedikit kagum padanya. Mungkin ini juga yang membuatku bisa jatuh kepelukannya.
Sesampainya di mess aku bergegas berganti pakaian. Beruntung tidak ada teman diklat yang memergoki kami. Saat diruangan juga tidak ada yang bertanya keberadaanku semalam. Sepertinya mereka terlalu sibuk dengan tugas kelompok masing-masing. Kulihat Edi sudah berganti pakaian juga. Entah dia meminjamnya dari siapa.
Presentasi kelompokku berjalan lancar. Sepanjang acara kami tidak lagi saling berbicara. Hari ini adalah diklat terakhir. Jadwalnya sedikit panjang dan berakhir menjelang malam. Saat peserta diklat bubar aku tidak lagi melihat Edi. Mungkin dia pulang kerumahnya, pikirku. Keesokan paginya, pada acara penutupan aku tidak melihatnya juga. Aku baru melihat sosok Edi di depan mess. Sepertinya dia memang menungguku. Melihat aku menarik koper, Edi melepar senyum.
“Hati-hati dijalan ya.”
Aku tersenyum canggung. Wajahku sedikit merona. Entah dia menyadarinya atau tidak.
“Ma-makasi.”
“Ini kartu namaku.” Dia menjulurkan tangannya. “Kalo kamu mau nelpon boleh, kalo nggak juga nggak apa-apa.”
Aku menerimanya. Dia membantuku memasukkan koper ke dalam taxi. Kami saling melambai. Itu terakhir aku melihat Edi, selingkuhan pertamaku. Dosa pertama atas janji suciku. Kartu namanya masih aku simpan, hanya saja aku tidak menelpon. Entah suatu hari nanti.
***
Sesampainya dikotaku sudah bisa ditebak. Saking kangennya kami bercinta di dalam mobil, begitu masuk garasi. Ruang tamu menjadi tempat berikutnya. Sebenarnya suamiku ingin menggendongku ke kamar. Ditengah jalan dia mengubah pikiran, sofa terasa jauh lebih menantang. Malam itu kami habiskan dengan persetubuhan panas. Aku memberikan service terbaikku guna menebus dosaku. Suamiku sampai heran dibuatnya. Heran sekaligus senang tentunya. Bahkan keesokan paginya aku harus menelpon kantor. Aku terpaksa meminta ijin, karena penis suamiku tidak mau lepas dariku. Itupun aku lakukan dalam posisi doggie. Kembali kami habisnya hari dengan bercinta, bercinta dan bercinta. Itu seperti bulan madu kedua kami. Seharian itu, kami tidak pernah sempat berpakaian.
Hasilnya, dua minggu kemudian aku positif hamil. Aku bahagia, begitu pun suamiku. Hanya saja dalam hatiku ada sebuah tanya. Apakah bayi ini benih suamiku, atau benih Edi. Pertanyaan yang akan terus menghantuiku. Sembilan bulan berikutnya, anak pertamaku lahir. Seorang laki-laki.
Bersambung..
Wednesday, November 29, 2017
Jangan Sampai Papa Mama Tahu yah Dek (part 3)
Aku sedang enak-enaknya tidur, namun tiba-tiba ada yang menyentil keningku. Akupun langsung terbangun sambil mengaduh kesakitan. Ya… siapa lagi pelakunya kalau bukan kak Risa.
“Hahaha, bangun juga kamu”
“Kak… gak ada cara bangunin yah lebih enak apa?” ucapku kesal sambil mengusap keningku. Bangunin pake ciuman di bibir kek gitu biar romantis dikit. Huh!
“Hahaha, sorry deh… Habisnya buru-buru, udah subuh nih, cepetan balik ke kamarmu gih!” suruhnya kemudian. Tentunya aku keberatan, aku masih ingin berlama-lama bersamanya. Apalagi melihat dirinya yang masih hanya mengenakan kaos saja di tubuhnya itu, sungguh menggemaskan.
Subuh-subuh bangun, dengan kakak cantik di atas ranjang, yang pakaiannya sembrono begitu, adek mana sih yang gak bakal ngaceng?? Hehehe.
“Nanti deh kak, bentar lagi…” ujarku sambil berusaha memeluknya, tapi kak Risa menahan tubuhku.
“Adeeek udah! Bentar lagi papa mama bangun tuh… Emang kamu mau kita ketahuan? Kan kamu udah janji bakal balik ke kamarmu sebelum subuh!”
Hmm… Benar sih yang diucapkannya. Aku tidak mau juga perbuatan kami yang tidak pantas dilakukan adik kakak ini ketahuan oleh Papa Mama. Tapi setidaknya aku harus mendapatkan sesuatu dulu sebelum balik ke kamarku.
“Yaaaah… kakaaaak…”
“Kalau gak ada papa mama kakak mau deh nemenin kamu,” ujarnya dengan senyum manis.
“Iya nih, Papa Mama gangguin aja” balasku. Kak Risa tertawa mendengarnya, sebelum akhirnya dia menyuruhku lagi untuk keluar.
“Kasih ciuman dulu dong kak…”
“Aduh kamu ini… ya udah”
“Aku di bawah, kakak cium aku dari atas” pintaku sambil kembali merebahkan badanku.
“Dasar ih”
Dia akhirnya mau-mau juga untuk memberi waktu sedikit untukku. Tentunya aku gunakan waktu ini sebaik dan secabul mungkin. Sambil berciuman dengannya aku juga meraba-raba tubuhnya, terutama pantat bulatnya yang tak tertutup itu. Perut, punggung, pinggul, hingga paha mulusnya juga tak luput dari gerepe-gerepean nakal tanganku.
Kak Risa tidak memprotes. Justru sepertinya membuat dirinya makin horni karena ulahku, nafasnya semakin berat. Ciuman kami bahkan sudah berubah menjadi saling berbagi liur. Lama-kelamaan malah hanya kak Risa yang asik menumpahkan liurnya ke dalam mulutku. Tentunya aku terima dengan senang hati. Tak cuma itu, penisku dan vaginanya juga bergesekan sambil dia terus menyuapi aku dengan ludahnya yang membuat aku semakin kesenangan. Kalau dipikir-pikir kelakuan kami semakin gila saja, tapi aku menyukainya.
Entah sudah berapa kali dia meludah ke mulutku, tapi aku masih saja tidak pernah puas. Ingin lagi dan lagi.
“Hihihi… Kok jadi kakak nyuapin kamu gini sih? Enak? Udah kenyang belom dek?” tanyanya menjawil hidungku sambil bangkit dan duduk di atas pinggangku, tepat menghimpit penisku yang tegang.
“Belum kak…”
“Kok masih belum sih? Mulut kakak udah pegel tau ngumpulin ludah buat kamu… Hmm.. ya sudah… satu menit lagi aja yah…”
“Hehehe… oke deh kak…” yes!
“Dasar!”
Kak Risapun lanjut meludah-ludah lagi ke dalam mulutku. Meskipun dia bilang satu menit, tapi intensitas meludahnya malah semakin cepat. Aku yang jadi kewalahan menerima ludahnya yang bertubi-tubi masuk ke mulutku. Kak Risa malah tertawa-tawa melihat aku yang kelagapan.
“Hihihi… rasain kamu dek… mesum sih… hihihi” Ugh… kak Risa. Aku rasa aku tidak perlu serapan lagi nanti, air ludah kak Risa ini saja rasanya sudah cukup. Tidak ada yang lebih nikmat dari cairan tubuh kakakku ini. Aku benar-benar tergila-gila padanya.
“Udah sana keluar!”
“Iya iya…”
“Eh, ingat dek, kalau di depan papa mama jangan aneh-aneh kamunya” serunya mengingatkanku. Aku hanya membalas membentuk tanda ‘ok’ dengan tangan.
Aku lalu ke kamarku setelah itu. Bersiap menghabiskan hari ini seperti kemarin. Yang mana kami berperilaku sebagai kakak adek yang normal di hadapan orangtua kami. Kak Risa juga kembali berpakaian sopan dan tertutup.
Setelah kami pulang sekolah. Aku ingin bermesraan lagi dengannya. Anehnya justru karena kehadiran orangtua kami di rumah aku malah ingin merasakan sesuatu yang lebih. Aku ingin melakukan hal yang lebih gila lagi bersama kak Risa.
Ketika kami baru masuk rumah, aku langsung memberi kode pada kakakku untuk mencuri-curi kesempatan untuk melakukan hal mesum lagi, tapi dia belagak bego dan tidak mempedulikanku. Malah justru mengerjaiku.
“Ma… Pa.. tadi adek ngebut bawa motornya” teriaknya seenaknya ngomong.
“Gak Ma, kakak bohong tuh…” balasku membela diri.
“Ngebut gitu, hampir nabrak anak kucing” balasnya lagi.
“Mana ada!”
“Sudah sudah… kalian ini memang ribut terus kerjaannya. Kamu Andre, jangan ngebut-ngebut bawa motor. Kan sudah berkali-kali papa bilang…”
“Tapi kan aku gak ngebut Pa… Ma…” Hiks… Sialan kak Risa. Dia asik menahan tawa sambil menuju dapur. Aku telanjangi baru tahu rasa nanti!
“Masak apa Ma?” tanya kak Risa sambil membuka tudung saji. “Wah, rendaaaaaang” teriaknya girang lalu mencolek bumbunya.
“Risa! Kamu ini main colek aja, ganti dulu bajumu sana!” suruh mama pada kak Risa. Hahaha, rasain tuh. Lagian kakakku ini gak pandai masak sih, beruntung mama tiap pulang ke rumah selalu masak masakan yang enak.
Kak Risa lalu menuju ke kamarnya. Akupun kemudian juga menyusul kak Risa, papa mama melihat aku masuk ke sana. Aku dari dulu memang sering main ke dalam kamar kak Risa, jadi hal itu biasa saja bagi Papa Mama. Tapi tentunya yang ingin aku lakukan adalah sesuatu yang tidak pernah orangtua kami bayangkan. Bukan sesuatu yang biasa dilakukan kakak adik sekandung.
“Adeeeek… ngapain kamu ikut ke kamar kakak? Ada papa mama lho di luar” bisiknya keras.
“Biarin aja kak.. Pengen nih…” jawabku. Aku sadar ini sangat beresiko kalau aku melakukannya siang bolong begini saat Papa Mama ada di ruang tengah. Tapi aku tak tahaaan.
“Kenapa dek? Gak tahan yah?”
“Iya kak… pengen itu..”
“Pengen apa?” tanyanya senyum-senyum manis.
“Pengen ngentotin mulut kakak lagi… boleh nggak kak? hehe” ujarku berani berkata lancang. Sebuah permintaan yang sangat tidak pantas dipinta oleh seorang adek laki-laki kepada kakak perempuannya.
“Yang keras dong ngomongnya… gak kedengaran nih…” Duh, kak Risa mempermainkanku. Apa dia sengaja biar kedengaran Papa Mama? Nakal banget sih kak Risa!?
Tapi akupun benar-benar mengulangi ucapanku.
“Pengen entotin mulut kakak!” kataku lagi sedikit lebih keras.
“OH… PENGEN ENTOTIN MULUT KAKAK??” Ya ampun kak Risa! Dia berkata begitu dengan suara yang lantang dan lebih keras dari yang aku ucapkan tadi! Dia ternyata benar-benar cari penyakit dengan berkata seperti itu keras-keras! Kalau kedengaran Papa Mama gimana coba!? Jantungku serasa mau copot, tapi sepertinya orangtua kami tidak mendengar. Mungkin karena suara tv yang lumayan keras.
“Kak… apa-apaan sih? Jangan keras-keras dong suaranya…”
“Hihihi… biarin” jawabnya pura-pura santai, meskipun aku tahu kalau dia juga beneran takut ketahuan. Aku yakin dia juga dag-dig-dug karena ulahnya sendiri itu.
“Terus, jadi gak nih kamunya genjotin mulut kakak?” tanyanya lagi masih dengan suara keras.
“Duh… Kak… pelanin dong suaranya”
Ya ampuuuun. Dia sepertinya senang betul melihat aku panik begini, sampai tertawa cekikikan segala.
“Kalau berisik nanti mulutnya aku sumbat nih” lanjutku lagi.
“Hahaha, sumbat pake apa emangnya? Pake burungmu? Nih, coba aja kalau berani…” godanya dengan nada bicara nakal lalu bersimpuh di lantai kamar. Dia menantangku!
Aku langsung membuka celanaku dan menuju ke arah kakakku itu. Tanpa menunggu lagi segera ku masukkan penisku ke dalam mulutnya. Dia seperti berteriak kecil saat mulutnya tersumpal. Justru bikin aku tambah gemas saja. Akupun menggenjotnya sambil kakakku ini masih berpakaian seragam sekolahnya, bahkan dengan jilbab masih menempel di kepalanya.
Kamipun mengulangi perbuatan kami tadi malam, dan lagi-lagi hanya selembar pintu yang membatasi kami dengan orangtua kami. Bedanya kali ini aku dan kak Risalah yang ada di dalam kamar. Di dalam kamar yang tidak terkunci yang bisa dimasuki kapanpun oleh Papa Mama. Memikirkan hal itu lagi-lagi membuat aku semakin horni. Rasanya aku beneran pengen lanjut menelanjanginya saat ini juga, tapi…
“Kaaaak… Adeeeek…. gak makan dulu?” teriak Mama tiba-tiba dari ruang tengah. Aku dan kak Risa saling pandang karena kaget. Kak Risa malah memandangku dengan penisku masih tersumpal di mulutnya. Tapi anehnya rasa takut ketahuan ini makin membuat perasaanku gak karuan. Kak Risa sepertinya juga merasakan demikian karena ternyata dia malah terus mengulum dan mengocok pelan penisku dengan mulutnya, tidak menjawab panggilan Mama.
“Kak.. mama tuh…” ujarku mulai panik karena kak Risa tidak menjawab. Kalau Mama menyusul ke kamar gimana coba. Tapi dianya malah menggelengkan kepala seakan berkata tidak akan melepaskan penisku.
“Kak… Adeeekkk.. Kalian lagi ngapain sih di dalam?” teriak mamaku lagi. Duh! Aku betul-betul dibikin jantungan. Aku dapat merasakan nafas kakakku yang terasa semakin berat pada penisku yang masih di dalam mulutnya. Jelas kalau dia juga merasa deg-degkan karena situasi ini, namun dia masih saja belum melepaskan penisku. Tapi… kalau terus nekat kami beneran akan ketahuan!
“Kak!” seruku lagi. Barulah kak Risa mau melepaskan kulumannya.
“Iya Ma… bentar… adek nih gangguin aja” teriak kak Risa akhirnya menyahut mama.
“Andre, masak baru pulang kamu langsung gangguin kakakmu! Ayo makan dulu” teriak mama memarahiku. Tentu saja mama tidak tahu apa yang sebenarnya aku lakukan pada kakakku di dalam sini.
Aku tentunya tidak menginginkan aksi kami ini ketahuan. Apalagi oleh orangtua kami sendiri. Sepertinya terpaksa perbuatan ini harus segera kami sudahi. Ku pandangi wajah kak Risa di bawah. Aku dapat melihat dari matanya kalau dia juga tidak ingin ini cepat berakhir. Seakan tidak rela kalau aku tidak mendapatkan kepuasan.
“Dek…”
“Ya kak…”
“Kamu genjotin mulut kakak gih… Kamu genjotin sekuat dan secepat mungkin” ucapnya yang membuatku terkejut tapi juga senang bukan main.
“Hah? Boleh kak? Gak apa?”
“Iya… buruan! Kalau kelamaan ntar mama datang”
“I-iya”
Tunggu apa lagi. Aku yang memang menahan horni kembali memasukkan penisku ke mulut kakak kandungku ini. Mendeepthroat kak Risa sedalam mungkin sampai mentok di kerongkongannya, lalu menggoyangkan pinggulku sekencang-kencangnya dengan nafas memburu seakan ingin mengeruk isi perut kakakku. Sebuah pemandangan yang tak lazim tentunya bila dilihat oleh orang lain, terutama orangtua kami. Kak Risa yang sopan, berpakaian rapi dan tertutup seperti saat ini, sedang digenjot mulutnya dengan kasar oleh adek kandungnya sendiri! Ah… gila, yang kami lakukan sekarang sungguh gila!
Tidak sampai satu menit kemudian akupun memuntahkan spermaku di kerongkongan kakak kandungku ini. Tapi berbarengan dengan itu kak Risa juga muntah. Sepertinya dia tidak tahan karena sodokanku yang kencang dan dalam itu. Wajahnya memerah keringatan, nafasnya terputus-putus. Dia tampak bersusah payah mengumpulkan nafasnya sebelum menatapku kembali dan berusaha tersenyum dengan manis. Kakakku benar-benar kakak tercantik, aku beruntung mempunyai kakak perempuan seperti dia.
Setelah kak Risa membersihkan muntahan itu dengan pakaian kotornya, kamipun keluar kamar untuk makan. Tidak ada raut kecurigaan sama sekali dari Papa Mama. Yang ada aku yang dimarahi karena dianggap mengganggu kak Risa di dalam kamar.
“Dek, kalau setelah ini kamu pengen bikin kakak muntah-muntah lagi boleh kok, hihihi” bisiknya pelan yang membuat jantungku berdebar lagi.
********
Entah kenapa semakin lama orangtua kami ada di rumah, malah jadi pemancing aku dan kak Risa untuk semakin nekat mencoba hal yang lebih gila dan liar. Itu karena sensasi sembunyi-sembunyinya, apalagi mereka adalah orangtua kami sendiri. Tentunya mereka tidak akan menyangka hubungan anak-anak mereka segila ini, terutama kak Risa yang bagi mereka adalah anak yang paling penurut dan baik perangainya.
Aku sesering mungkin meminta ingin berbuat mesum pada kak Risa. Semuanya dituruti kak Risa tanpa keberatan. Bahkan lebih banyak dia yang menawarkan padaku. Kami curi-curi kesempatan untuk melakukan berbagai aksi cabul. Mulai dari hanya cium-cium dan gerepe-gerepe, tukaran air liur, sampai genjotin mulut kak Risa hingga dia muntah-muntah. Semuanya kami lakukan diam-diam di belakang Papa Mama, tapi malah berharap seandainya mereka melihat apa yang kami lakukan.
Seperti halnya sekarang ini, saat malam waktu Papa Mama sudah tidur aku lagi-lagi menyusul kak Risa ke kamarnya. Senang banget ketika aku masuk aku langsung disambut senyum manis kakakku yang cantik. Busananya juga sangat menggoda. Dia mengenakan setelan favoritku, kemeja putih lengan panjang dengan beberapa kancing atasnya terbuka, tanpa celana dan celana dalam tentunya yang lagi-lagi membuat vaginanya terekspos bebas.
“Kak Risa memang kakak yang paling cantik” ucapku sambil memperhatikan kakakku dari atas hingga bawah.
“Huuu… sok muji-muji, paling di pikiranmu cuma ada pikiran cabul sekarang, iya kan dek? hihihi”
“Hehe, tapi kakak emang cantik banget kok… Aku beruntung banget punya kakak kayak kak Risa” pujiku tak ada henti-hentinya padanya. Kakakku ini memang pantas dipuja-puji.
“Iya deh makasih. Kan emang khusus buat kamu, adeknya kakak yang paling mesum”
Ugh… kak Risa memang sangat baik. Akupun langsung menyeretnya ke ranjang dan menghimpit tubuhnya, sampai-sampai lupa menutup pintu kamarnya terlebih dahulu. Dia sendiri tampaknya tidak mempermasalahkannya. Bahkan mengatakan sesuatu yang membuat aku terkejut tapi juga sangat excited.
“Dek, pintunya gak usah ditutup aja yah malam ini, dibuka aja terus”
“Hah? Gak ditutup?”
“Iya… terus lampunya juga jangan dimatikan. Pokoknya tetap begini sampai subuh nanti. Okeh?”
“Eh, i..iya kak..”
“Berani gak kamu?”
“Be-berani kok…” Dadaku berdebar membayangkannya. Aku juga dapat merasakan dadanya berdebar seperti halnya diriku. Itu karena sensasi nekat yang kami lakukan. Mesum-mesuman dengan pintu yang akan terus terbuka sepanjang malam! Yang mana kalau orangtua kami keluar kamar, maka habislah sudah. Tapi kami tetap juga nekat melakukannya.
Akupun mencium kak Risa habis-habisan di atas tempat tidurnya. Wajahnya, bibirnya, hingga leher jenjangnya. Namun sesekali aku masih tetap melirik ke arah pintu karena aku masih juga merasa was-was.
“Adek…. Biar aja” ujar kak Risa menolehkan kepalaku lagi ke wajahnya. Kak Risa berusaha tenang dan menyuruhku untuk tidak menghiraukan pintu yang terbuka.
“Nghh…. Kak Risaaa” akupun mencium kak Risa lagi. Aku sungguh gemas dengan kakakku ini. Dia betul-betul menunjukkan sisi nakalnya hanya kepadaku, adek kandungnya. Sesuatu yang tidak pernah diketahui oleh oranglain, apalagi orangtua kami.
Aku berhenti sejenak untuk melepaskan seluruh pakaianku hingga telanjang bulat. Kak Risa senyum-senyum melihat aku yang tampak bersemangat. Aku lalu kembali menindih kak Risa dari atas. Menjamah tubuh seksi kakak kandungku yang masih tetap mengenakan kemejanya. Menciumnya, merabanya, serta menggesek-gesekkan penisku ke pahanya. Aku berusaha menuruti omongannya untuk tidak menghiraukan pintu yang terbuka meskipun tidak semudah itu. Namun memang dengan pintu yang terbuka begitulah aku semakin nekat berbuat cabul. Kakakku memang pintar membangkitkan nafsuku. Aku semakin ingin melakukan sesuatu yang lebih bersama kak Risa. Aku ingin menyetubuhinya. Tapi apakah kak Risa sampai senekat itu membolehkan aku bersetubuh dengannya?? Karena selama ini bila kami mesum-mesuman dia selalu mengingatkanku agar jangan sampai terjadi ML. Dia selalu menjaga jarak penisku dengan vaginanya.
Aku tahu kalau kami berdua sudah sama-sama terbawa nafsu sekarang. Dia ikut menggerakkan pinggulnya maju-mundur seirama gesekan penisku di pangkal pahanya. Tingkah kak Risa seperti mau meski tak mau. Kak Risa juga mengerang-ngerang memanggil namaku. Bahkan menyebut Papa Mama, entah apa maksudnya.
Aku mencoba tetap seperti biasa dengan hanya sekedar menggesek-gesekkan penisku di sela-sela pahanya. Mencoba bertahan meskipun penisku sudah gatal ingin masuk ke liang vagina kakakku itu.
“Kak… aku pengen ngentotin kakak dong…”
“Hmm??” gumamnya memandangku sayu.
“Aku pengen ngentot sama kak Risa” kataku lagi dengan dada berdebar.
“Gak boleh”
“Yah kak please…”
“Kamu ini… segitu pengennya yah kamu ngentotin kakak kandungmu sendiri?”
“Iya kak… pengen…” ujarku sambil mempercepat gesekan penisku di pangkal pahanya. Aku ingin dia tahu kalau aku memang sudah sangat bernafsu kepadanya.
“Gak boleh.. dosa adekku” ujarnya tapi malah mengimbangi gerakan pinggulku.
“Ngmmh… kak Risa… please…”
“Kamu ini, bandel banget sih dibilangin!”
“Gak tahan nih kak… Pengen banget rasain ngentotin kak Risa”
“Kalau Papa Mama ngelihat gimana coba?” tanya kak Risa sok takut ketahuan.
“Itu urusan nanti kak, yang penting kita ngentot dulu yuk” kataku lalu menghentakkan pinggulku berharap penisku masuk, tapi meleset.
“Adeekkk… ih, kamu ini”
“Please kak…”
“Hmm… kamu selipin dikit aja yah… Cuma kepala burungmu aja” ujarnya kemudian. Yah… kok cuma kepala penis aja sih? Aku kan pengen masukin penisku ke vagina kak Risa semuanya. Tapi ya sudah lah dari pada gak sama sekali. Mungkin aja nanti kak Risa berubah pikiran.
“Iya deh kak…” jawabku. Kak Risa membalas dengan senyuman manis sambil mencubit hidungku.
“Habisnya kelihatan enak sih…” ujarnya memeletkan lidah bergaya imut.
Kak Risa lalu menuju ke kamarnya. Akupun kemudian juga menyusul kak Risa, papa mama melihat aku masuk ke sana. Aku dari dulu memang sering main ke dalam kamar kak Risa, jadi hal itu biasa saja bagi Papa Mama. Tapi tentunya yang ingin aku lakukan adalah sesuatu yang tidak pernah orangtua kami bayangkan. Bukan sesuatu yang biasa dilakukan kakak adik sekandung.
“Adeeeek… ngapain kamu ikut ke kamar kakak? Ada papa mama lho di luar” bisiknya keras.
“Biarin aja kak.. Pengen nih…” jawabku. Aku sadar ini sangat beresiko kalau aku melakukannya siang bolong begini saat Papa Mama ada di ruang tengah. Tapi aku tak tahaaan.
“Kenapa dek? Gak tahan yah?”
“Iya kak… pengen itu..”
“Pengen apa?” tanyanya senyum-senyum manis.
“Pengen ngentotin mulut kakak lagi… boleh nggak kak? hehe” ujarku berani berkata lancang. Sebuah permintaan yang sangat tidak pantas dipinta oleh seorang adek laki-laki kepada kakak perempuannya.
“Yang keras dong ngomongnya… gak kedengaran nih…” Duh, kak Risa mempermainkanku. Apa dia sengaja biar kedengaran Papa Mama? Nakal banget sih kak Risa!?
Tapi akupun benar-benar mengulangi ucapanku.
“Pengen entotin mulut kakak!” kataku lagi sedikit lebih keras.
“OH… PENGEN ENTOTIN MULUT KAKAK??” Ya ampun kak Risa! Dia berkata begitu dengan suara yang lantang dan lebih keras dari yang aku ucapkan tadi! Dia ternyata benar-benar cari penyakit dengan berkata seperti itu keras-keras! Kalau kedengaran Papa Mama gimana coba!? Jantungku serasa mau copot, tapi sepertinya orangtua kami tidak mendengar. Mungkin karena suara tv yang lumayan keras.
“Kak… apa-apaan sih? Jangan keras-keras dong suaranya…”
“Hihihi… biarin” jawabnya pura-pura santai, meskipun aku tahu kalau dia juga beneran takut ketahuan. Aku yakin dia juga dag-dig-dug karena ulahnya sendiri itu.
“Terus, jadi gak nih kamunya genjotin mulut kakak?” tanyanya lagi masih dengan suara keras.
“Duh… Kak… pelanin dong suaranya”
Ya ampuuuun. Dia sepertinya senang betul melihat aku panik begini, sampai tertawa cekikikan segala.
“Kalau berisik nanti mulutnya aku sumbat nih” lanjutku lagi.
“Hahaha, sumbat pake apa emangnya? Pake burungmu? Nih, coba aja kalau berani…” godanya dengan nada bicara nakal lalu bersimpuh di lantai kamar. Dia menantangku!
Aku langsung membuka celanaku dan menuju ke arah kakakku itu. Tanpa menunggu lagi segera ku masukkan penisku ke dalam mulutnya. Dia seperti berteriak kecil saat mulutnya tersumpal. Justru bikin aku tambah gemas saja. Akupun menggenjotnya sambil kakakku ini masih berpakaian seragam sekolahnya, bahkan dengan jilbab masih menempel di kepalanya.
Kamipun mengulangi perbuatan kami tadi malam, dan lagi-lagi hanya selembar pintu yang membatasi kami dengan orangtua kami. Bedanya kali ini aku dan kak Risalah yang ada di dalam kamar. Di dalam kamar yang tidak terkunci yang bisa dimasuki kapanpun oleh Papa Mama. Memikirkan hal itu lagi-lagi membuat aku semakin horni. Rasanya aku beneran pengen lanjut menelanjanginya saat ini juga, tapi…
“Kaaaak… Adeeeek…. gak makan dulu?” teriak Mama tiba-tiba dari ruang tengah. Aku dan kak Risa saling pandang karena kaget. Kak Risa malah memandangku dengan penisku masih tersumpal di mulutnya. Tapi anehnya rasa takut ketahuan ini makin membuat perasaanku gak karuan. Kak Risa sepertinya juga merasakan demikian karena ternyata dia malah terus mengulum dan mengocok pelan penisku dengan mulutnya, tidak menjawab panggilan Mama.
“Kak.. mama tuh…” ujarku mulai panik karena kak Risa tidak menjawab. Kalau Mama menyusul ke kamar gimana coba. Tapi dianya malah menggelengkan kepala seakan berkata tidak akan melepaskan penisku.
“Kak… Adeeekkk.. Kalian lagi ngapain sih di dalam?” teriak mamaku lagi. Duh! Aku betul-betul dibikin jantungan. Aku dapat merasakan nafas kakakku yang terasa semakin berat pada penisku yang masih di dalam mulutnya. Jelas kalau dia juga merasa deg-degkan karena situasi ini, namun dia masih saja belum melepaskan penisku. Tapi… kalau terus nekat kami beneran akan ketahuan!
“Kak!” seruku lagi. Barulah kak Risa mau melepaskan kulumannya.
“Iya Ma… bentar… adek nih gangguin aja” teriak kak Risa akhirnya menyahut mama.
“Andre, masak baru pulang kamu langsung gangguin kakakmu! Ayo makan dulu” teriak mama memarahiku. Tentu saja mama tidak tahu apa yang sebenarnya aku lakukan pada kakakku di dalam sini.
Aku tentunya tidak menginginkan aksi kami ini ketahuan. Apalagi oleh orangtua kami sendiri. Sepertinya terpaksa perbuatan ini harus segera kami sudahi. Ku pandangi wajah kak Risa di bawah. Aku dapat melihat dari matanya kalau dia juga tidak ingin ini cepat berakhir. Seakan tidak rela kalau aku tidak mendapatkan kepuasan.
“Dek…”
“Ya kak…”
“Kamu genjotin mulut kakak gih… Kamu genjotin sekuat dan secepat mungkin” ucapnya yang membuatku terkejut tapi juga senang bukan main.
“Hah? Boleh kak? Gak apa?”
“Iya… buruan! Kalau kelamaan ntar mama datang”
“I-iya”
Tunggu apa lagi. Aku yang memang menahan horni kembali memasukkan penisku ke mulut kakak kandungku ini. Mendeepthroat kak Risa sedalam mungkin sampai mentok di kerongkongannya, lalu menggoyangkan pinggulku sekencang-kencangnya dengan nafas memburu seakan ingin mengeruk isi perut kakakku. Sebuah pemandangan yang tak lazim tentunya bila dilihat oleh orang lain, terutama orangtua kami. Kak Risa yang sopan, berpakaian rapi dan tertutup seperti saat ini, sedang digenjot mulutnya dengan kasar oleh adek kandungnya sendiri! Ah… gila, yang kami lakukan sekarang sungguh gila!
Tidak sampai satu menit kemudian akupun memuntahkan spermaku di kerongkongan kakak kandungku ini. Tapi berbarengan dengan itu kak Risa juga muntah. Sepertinya dia tidak tahan karena sodokanku yang kencang dan dalam itu. Wajahnya memerah keringatan, nafasnya terputus-putus. Dia tampak bersusah payah mengumpulkan nafasnya sebelum menatapku kembali dan berusaha tersenyum dengan manis. Kakakku benar-benar kakak tercantik, aku beruntung mempunyai kakak perempuan seperti dia.
Setelah kak Risa membersihkan muntahan itu dengan pakaian kotornya, kamipun keluar kamar untuk makan. Tidak ada raut kecurigaan sama sekali dari Papa Mama. Yang ada aku yang dimarahi karena dianggap mengganggu kak Risa di dalam kamar.
“Dek, kalau setelah ini kamu pengen bikin kakak muntah-muntah lagi boleh kok, hihihi” bisiknya pelan yang membuat jantungku berdebar lagi.
********
Entah kenapa semakin lama orangtua kami ada di rumah, malah jadi pemancing aku dan kak Risa untuk semakin nekat mencoba hal yang lebih gila dan liar. Itu karena sensasi sembunyi-sembunyinya, apalagi mereka adalah orangtua kami sendiri. Tentunya mereka tidak akan menyangka hubungan anak-anak mereka segila ini, terutama kak Risa yang bagi mereka adalah anak yang paling penurut dan baik perangainya.
Aku sesering mungkin meminta ingin berbuat mesum pada kak Risa. Semuanya dituruti kak Risa tanpa keberatan. Bahkan lebih banyak dia yang menawarkan padaku. Kami curi-curi kesempatan untuk melakukan berbagai aksi cabul. Mulai dari hanya cium-cium dan gerepe-gerepe, tukaran air liur, sampai genjotin mulut kak Risa hingga dia muntah-muntah. Semuanya kami lakukan diam-diam di belakang Papa Mama, tapi malah berharap seandainya mereka melihat apa yang kami lakukan.
Seperti halnya sekarang ini, saat malam waktu Papa Mama sudah tidur aku lagi-lagi menyusul kak Risa ke kamarnya. Senang banget ketika aku masuk aku langsung disambut senyum manis kakakku yang cantik. Busananya juga sangat menggoda. Dia mengenakan setelan favoritku, kemeja putih lengan panjang dengan beberapa kancing atasnya terbuka, tanpa celana dan celana dalam tentunya yang lagi-lagi membuat vaginanya terekspos bebas.
“Kak Risa memang kakak yang paling cantik” ucapku sambil memperhatikan kakakku dari atas hingga bawah.
“Huuu… sok muji-muji, paling di pikiranmu cuma ada pikiran cabul sekarang, iya kan dek? hihihi”
“Hehe, tapi kakak emang cantik banget kok… Aku beruntung banget punya kakak kayak kak Risa” pujiku tak ada henti-hentinya padanya. Kakakku ini memang pantas dipuja-puji.
“Iya deh makasih. Kan emang khusus buat kamu, adeknya kakak yang paling mesum”
Ugh… kak Risa memang sangat baik. Akupun langsung menyeretnya ke ranjang dan menghimpit tubuhnya, sampai-sampai lupa menutup pintu kamarnya terlebih dahulu. Dia sendiri tampaknya tidak mempermasalahkannya. Bahkan mengatakan sesuatu yang membuat aku terkejut tapi juga sangat excited.
“Dek, pintunya gak usah ditutup aja yah malam ini, dibuka aja terus”
“Hah? Gak ditutup?”
“Iya… terus lampunya juga jangan dimatikan. Pokoknya tetap begini sampai subuh nanti. Okeh?”
“Eh, i..iya kak..”
“Berani gak kamu?”
“Be-berani kok…” Dadaku berdebar membayangkannya. Aku juga dapat merasakan dadanya berdebar seperti halnya diriku. Itu karena sensasi nekat yang kami lakukan. Mesum-mesuman dengan pintu yang akan terus terbuka sepanjang malam! Yang mana kalau orangtua kami keluar kamar, maka habislah sudah. Tapi kami tetap juga nekat melakukannya.
Akupun mencium kak Risa habis-habisan di atas tempat tidurnya. Wajahnya, bibirnya, hingga leher jenjangnya. Namun sesekali aku masih tetap melirik ke arah pintu karena aku masih juga merasa was-was.
“Adek…. Biar aja” ujar kak Risa menolehkan kepalaku lagi ke wajahnya. Kak Risa berusaha tenang dan menyuruhku untuk tidak menghiraukan pintu yang terbuka.
“Nghh…. Kak Risaaa” akupun mencium kak Risa lagi. Aku sungguh gemas dengan kakakku ini. Dia betul-betul menunjukkan sisi nakalnya hanya kepadaku, adek kandungnya. Sesuatu yang tidak pernah diketahui oleh oranglain, apalagi orangtua kami.
Aku berhenti sejenak untuk melepaskan seluruh pakaianku hingga telanjang bulat. Kak Risa senyum-senyum melihat aku yang tampak bersemangat. Aku lalu kembali menindih kak Risa dari atas. Menjamah tubuh seksi kakak kandungku yang masih tetap mengenakan kemejanya. Menciumnya, merabanya, serta menggesek-gesekkan penisku ke pahanya. Aku berusaha menuruti omongannya untuk tidak menghiraukan pintu yang terbuka meskipun tidak semudah itu. Namun memang dengan pintu yang terbuka begitulah aku semakin nekat berbuat cabul. Kakakku memang pintar membangkitkan nafsuku. Aku semakin ingin melakukan sesuatu yang lebih bersama kak Risa. Aku ingin menyetubuhinya. Tapi apakah kak Risa sampai senekat itu membolehkan aku bersetubuh dengannya?? Karena selama ini bila kami mesum-mesuman dia selalu mengingatkanku agar jangan sampai terjadi ML. Dia selalu menjaga jarak penisku dengan vaginanya.
Aku tahu kalau kami berdua sudah sama-sama terbawa nafsu sekarang. Dia ikut menggerakkan pinggulnya maju-mundur seirama gesekan penisku di pangkal pahanya. Tingkah kak Risa seperti mau meski tak mau. Kak Risa juga mengerang-ngerang memanggil namaku. Bahkan menyebut Papa Mama, entah apa maksudnya.
Aku mencoba tetap seperti biasa dengan hanya sekedar menggesek-gesekkan penisku di sela-sela pahanya. Mencoba bertahan meskipun penisku sudah gatal ingin masuk ke liang vagina kakakku itu.
“Kak… aku pengen ngentotin kakak dong…”
“Hmm??” gumamnya memandangku sayu.
“Aku pengen ngentot sama kak Risa” kataku lagi dengan dada berdebar.
“Gak boleh”
“Yah kak please…”
“Kamu ini… segitu pengennya yah kamu ngentotin kakak kandungmu sendiri?”
“Iya kak… pengen…” ujarku sambil mempercepat gesekan penisku di pangkal pahanya. Aku ingin dia tahu kalau aku memang sudah sangat bernafsu kepadanya.
“Gak boleh.. dosa adekku” ujarnya tapi malah mengimbangi gerakan pinggulku.
“Ngmmh… kak Risa… please…”
“Kamu ini, bandel banget sih dibilangin!”
“Gak tahan nih kak… Pengen banget rasain ngentotin kak Risa”
“Kalau Papa Mama ngelihat gimana coba?” tanya kak Risa sok takut ketahuan.
“Itu urusan nanti kak, yang penting kita ngentot dulu yuk” kataku lalu menghentakkan pinggulku berharap penisku masuk, tapi meleset.
“Adeekkk… ih, kamu ini”
“Please kak…”
“Hmm… kamu selipin dikit aja yah… Cuma kepala burungmu aja” ujarnya kemudian. Yah… kok cuma kepala penis aja sih? Aku kan pengen masukin penisku ke vagina kak Risa semuanya. Tapi ya sudah lah dari pada gak sama sekali. Mungkin aja nanti kak Risa berubah pikiran.
“Iya deh kak…” jawabku. Kak Risa membalas dengan senyuman manis sambil mencubit hidungku.
Aku lalu bangkit dan mengambil posisi di depan selangkangannya. Ku buka kaki kak Risa lebar-lebar dan kutekuk. Dengan dada yang sangat berdebar-debar ku arahkan kepala penisku menuju ke vaginanya. Ku lihat wajah kak Risa, dia menatapku dengan wajah sayu berusaha tersenyum padaku. Senyum yang juga sebagai isyarat kalau jangan sampai nyelip masuk.
Perlahan-lahan kutekan kepala penisku hingga masuk ke liang vagina kak Risa. Akhirnya aku dapat merasakan lagi hangatnya vaginanya meskipun hanya kepala penisku saja yang masuk. Rasanya sungguh luar biasa. Dari posisi ini aku bisa melihat semua keindahan ini dengan jelas. Mulai dari wajahnya yang cantik jelita, lalu kemeja asal-asalan yang memperlihatkan belahan dadanya yang indah serta putingnya yang nyemplak, sampai vaginanya yang sedang dimasuki kepala penisku. Kakakku betul-betul sempurna. Kakak tercantik dan terbaik yang pernah ada.
“Kenapa dek? Kok diam? Goyang-goyangin dong… entotin kakak, tapi cuma kepalanya aja yah… hihihi” ujar kak Risa menyadarkanku.
“Eh, i..iya kak…”
“Lamunin apa sih kamu? Udah nyelip masa’ dianggurin sih??”
“Hehehe, kakak cantik banget sih… nafsuin, aku sampai kelupaan”
“Hahaha, dasar” ujarnya tersenyum sambil lagi-lagi mencubitku hidungku. Ugh, kak Risa sungguh bikin aku gemes. Sungguh kakak yang nafsuin.
Seperti yang dia suruh, akupun mulai menggoyangkan pinggulku. Mengocok kepala penisku di dalam liang vaginanya. Rasa nikmat menjalar ke seluruh tubuhku. Belum lagi rasa deg-degan karena pintu kamar kak Risa yang terbuka dan keberadaan orangtua kami di rumah. Sensasinya sungguh luar biasa.
Suasana menjadi panas dan tubuh kami sudah mulai berkeringat. Cukup lama aku aku mengocok penisku di sana sambil menyebut-nyebut nama kak Risa. Kak Risa sendiri juga sepertinya sudah terbawa suasana. Dia merintih-rintih manja sambil menatap mataku, tentunya membuat aku semakin bernafsu. Bikin aku gak tahan untuk betul-betul menghujam penisku seluruhnya ke vaginanya dan muncrat di dalam sana.
“Nghh… kak Risa… kakak kandungku”
“Iya adekku… terus dek… entotin kakak kandungmu ini”
“Kak… pengen masukin semuanya…”
“Jangan dek” Ugh… kak Risa tega. Padahal aku berharap kak Risa akhirnya membolehkan penisku masuk seluruhnya. Mana aku udah mau klimaks pula. Tapi aku belum menyerah. Ku lepaskan penisku sebentar. Aku ingin nyelip-nyelip penisku dari belakang.
“Ngapain sih dek? Mau ganti gaya? Tapi mau gaya apapun tetap gak boleh masukin semuanya ya!” ujarnya lagi yang betul-betul tahu isi pikiranku.
Aku tidak menjawab dan hanya cengengesan, dia juga balas tersenyum. Aku lalu ikut tiduran dan memeluknya dari belakang. Ku masukkan kepala penisku lagi, kali ini dari belakang melewati pahanya. Sehingga dengan demikian kepala penisku masuk ke dalam vagina kak Risa, sedangkan batangku bisa merasakan mulusnya kulit paha kakakku ini. Belum lagi tanganku yang bisa dengan bebasnya bergeriliya menggerayangi buah dada kakakku dari balik kemejanya. Aku betul-betul tidak kuat!
Posisi kami sama-sama menghadap ke arah pintu. Perasaan deg-degan takut ketahuan malah membuat aku semakin terbawa nafsu. Berkali-kali aku terus berusaha agar penisku masuk lebih dalam ke liang vaginanya. Anehnya kak Risa malah merespon positif goyangan pinggulku yang semakin berusaha memasukkan penisku seutuhnya ke vaginanya, padahal tadi dia berkata agar berhati-hati. Duh, kak Risa ini. Apa dia juga merasakan hal yang sama denganku?
Entah kak Risa menyadari atau tidak, sedikit demi sedikit aku semakin berusaha memasuk penisku lebih dalam ke vaginanya. Kalau tadi penisku keluar masuk hanya sebatas kepala. Kini sudah keluar masuk sampai sebatas leher penis. Aku semakin nekat. Sekarang bahkan sudah hampir setengah batang penisku yang keluar masuk. Aku merasakan ada yang mengganjal kepala penisku di ujung sana. Apakah itu selaput daranya? Memikirkannya aku jadi tambah penasaran dan tambah horni. Goyanganku makin cepat.
“Adeeeek! Kamu pengen ngentotin kakak!?” teriaknya pelan tiba-tiba. Tapi aku sudah tidak peduli. Aku sudah betul-betul terbawa nafsu. Aku ingin ngentotin kak Risa.
“Nghh…. Kak Risa… ngentot… ngghhh…” racauku.
“Adeekk! Kita itu saudara kandung. Kamu mau ngentotin kakak sendiri hah? Kamu pengen hamilin kakak!?” protesnya lagi dengan suara semakin kencang. Aku betul-betul tidak peduli dan makin mencoba masuk lebih dalam.
“Pa… Ma… llihat nih adek nakal, masa’ kakaknya sendiri mau dientot… Pa.. Ma… lihat!” ujarnya lagi yang malah membuat perasaanku tak karuan. Dia memprotes tapi malah dengan ucapan seakan mengundang Papa Mama melihat aksi kami. Mana aku mau berhenti coba. Yang ada aku semakin hanyut terbawa nafsu.
“Ugh… kak Risa… aku masukin yah semuanya”
“Kalau kamu emang mau kakak jitak ya masukin aja!” jawabnya sok jutek. Dia hanya mengancamku dengan jitakan. Kalau gitu lebih baik ku entotin saja dia. Dengan sepenuh tenaga akupun menghujam seluruh penisku dalam vaginanya.
“Jlebb” penisku masuk… penisku masuk seluruhnya ke vagina kakak kandungku sendiri. Akhirnya!
“Adeeeekkkk! Sssshhh... sakiiiitt.. Kok beneran kamu masukin sih!” ujarnya kesal sambil mencubit pinggangku. Suaranya cukup keras yang bisa saja membangunkan Papa Mama. Ku lihat mata kak Risa berair. Sepertinya dia merasakan perih. Aku baru saja mengambil keperawanan kakak kandungku sendiri! Tampak ada darah yang mengalir keluar dari sana.
"Kak..." Aku kini jadi takut dia marah. Dia hanya diam selama beberapa saat.
"Awas kamu ntar..." ucapnya lirih sambil memasang wajah kesal, namun kemudian berusaha tersenyum padaku. Seakan meyakinkanku kalau tidak apa-apa dan mempersilahkanku untuk melanjutkan.
Aku senang bukan main. Aku yang memang sudah sangat bernafsu kembali menggenjot kakak kandungku ini. Kali ini dengan penisku yang sudah benar-benar masuk ke vaginanya. Aku lakukan dengan pelan, tapi semakin lama menjadi semakin cepat. Aku betul-betul menggunakan kesempatan ini untuk mereguh kenikmatan yang sudah lama aku dambakan. Tidak peduli walau kemungkinan aksi kami akan dipergoki orangtua kami.
“Pa… lihat, kak Risa yang kalian kenal sopan sedang ngentot dengan adeknya sendiri” kataku ngasal sambil terus menggenjot. Kak Risa yang mendengar ucapanku itu malah tertawa pelan, bahkan dia juga ikut-ikutan. Sepertinya rasa perih yang dia rasakan sudah mulai hilang.
“Lihat Ma… lihat, anak-anak mama sedang berzinah ria sekarang,” ucapnya.
“Pa… Ma… boleh kan aku hamilin kakak sendiri” kataku lagi.
“Adek.. kakak, kalian ngapain!? Masak ngentot-ngentotin gitu sih!” ujar kak Risa meniru gaya bicara mama. Kakakku benar-benar nakal! Kak Risa yang tadinya menolak-nolak mau kini sudah benar-benar tampak dengan senang hati disetubuhi olehku. Kami sama-sama telah terbawa nafsu.
Sambil terus ngentot, kami terus meracau tak jelas. Tertawa cekikikan di tengah suasana nikmat tiada tara. Keringat kami mulai bercucuran karena panasnya hawa persetubuhan ini. Persetubuhan sedarah betul-betul memberikan sensasi yang bikin aku melayang-layang. Apalagi wanita itu secantik kak Risa. Dia tampak semakin cantik dengan posisi disetubuhi dari belakang olehku. Wajahnya mengkilap oleh keringat. Kemeja yang dia kenakan mulai basah oleh keringatnya sendiri. Membuatnya terlihat semakin seksi. Membuatku semakin bernafsu padanya.
Aku ingin muncrat! Aku tidak tahan dengan rangsangan super hebat ini.
“Kak Risa… aku keluarin di dalam yah…” pintaku sambil menggoyankan pinggulku makin cepat, begitupun kak Risa yang juga ikut mengimbanginya seakan membantuku untuk menjemput orgasme kami.
“Bandel banget sih kamu dek… kamu nafsu sama kakak sendiri?”
“Iya kak…”
“Pengen kamu entotin terus?”
“Ngh… iya”
“Pengen hamilin kakak kandung sendiri? Ya udah.. hamilin gih..” ucapanya dengan centil. Membuat aku tidak tahan lagi!
Crooottttt crottttt….
Spermaku muncrat berkali-kali. Rahim Kak Risa ditembaki bertubi-tubi oleh benih adeknya sendiri. Ku keluarkan semuanya sampai tubuhku kelojotan. Ini merupakan orgasmeku yang paling luar biasa, orgasme di dalam vagina kak Risaku yang cantik. Aku langsung terbaring lemas di sampingnya. Nafas kami sama-sama berat dan terputus-putus.
“Adek…” panggilnya tidak lama kemudian.
“Ya kak?”
“Sini deh…” panggilnya sambil tersenyum manis. Akupun mendekat ke arahnya.
JITAAAAAK! Dugh, keningku kena jitak olehnya. Sakit! Ternyata ucapannya tadi memang benar kalau dia bakal menjitakku.
“Rasain! Itu karena udah berani ngentotin kakak!”
“Ugh.. sakit tau kak”
Dia mendekatiku sekali lagi, aku pikir dia akan menjitakku lagi, tapi…
“Cup” Dia mencium keningku.
“Dan itu karena kakak sayang kamu” ujarnya sambil tersenyum manis. Ugh… kak Risa. Aku merasa melayang-layang karenanya. Rasa sakit yang tadi ada kini tak terasa lagi. Langsung ku dekap dirinya jatuh ke atas badanku. Ku peluk erat dirinya. Dia juga balas memelukku. Aku sungguh sayang kakakku.
“Dek…”
“Ya kak?”
“Ngaceng lagi?”
“Hehe… iya nih… boleh satu ronde lagi gak?”
“Hmm… iya deh… dasar” katanya sambil tersenyum.
Kamipun melakukannya sekali lagi sebelum tidur. Kali ini kak Risa membuka kemejanya yang telah basah oleh keringat itu. Kami sama-sama telanjang bulat sekarang. Ngentot-ngentotan sambil pintu kamar terbuka dan lampu menyala. Bersetubuh sambil tukar-tukaran air liur dan saling menjilati keringat yang membanjir. Aku kembali muncrat di dalam vaginanya. Aku betul-betul ingin menghamili kakakku.
*****
Subuhnya aku dibangunkan kak Risa. Ini sebenarnya sudah agak telat, tapi untung Papa Mama masih belum bangun. Rencananya aku ingin langsung kembali ke kamarku, tapi melihat kak Risa yang bugil polos membuat nafsuku bangkit. Kamipun bersetubuh lagi subuh itu. Aku bahkan meminta hal yang cukup gila.
“Pipis di dalam vagina kakak? Gila kamu” tanyanya terkejut mendengar permintaanku. Aku sendiri tak tahu dari mana bisa mendapatkan ide ini. Terlintas begitu saja. Keinginan untuk melakukan hal yang lebih gila dengan kakakku lah yang menjadi pendorongnya.
“Iya kak… kebelet nih..”
“Iya… tapi masa gitu sih?”
“Penasaran aja kak… mau yah kak, sekali ini saja”
“Duh… kamu ini ada-ada aja. Hmm… iya deh… kakak turutin fantasimu! Tapi jangan di atas kasur yah… ntar repot bersihinnya, bisa ketahuan mama ntar”
“Oke deh kak…”
Kamipun turun dari kasur dengan penisku tetap berada di vaginanya. Kami mendekati lemarinya kak Risa, lalu ngentot berdiri sambil melihat bayangan kami yang ada di cermin. Tampak kakakku yang cantik, dengan tubuh indah dan kulit putih mulus sedang disetubuhi olehku.
“Aku pipis yah kak…” ujarku sambil menatapnya melalui cermin. Diapun mengangguk tersenyum manis mengiyakan sambil juga balik menatapku. Ugh… sungguh cantik.
Akupun mengerahkan seluruh tenagaku untuk kencing. Serrrrrrrrrrr….. air seniku mulai keluar di dalam vaginanya.
“Dek…”
“Ya kak?”
“Kita pipis barengan aja deh…”
“Hah?”
Ku lihat kak Risa juga seperti mengejan. Kak Risa juga kencing sewaktu aku kencing di vaginanya.
Sambil aku terus kencing aku juga menggoyang-goyangkan pinggulku menggenjot vaginanya hingga membuat air seni kami menghambur kemana-mana. Sungguh bukan pemandangan yang lazim untuk dilakukan oleh saudara kandung. Apa jadinya kalau Papa Mama terbangun sekarang dan melihat ulah kami.
Sungguh hangat saat air seni kami bercampur di dalam vagina kak Risa. Aku melihat senyum lega kak Risa seperti halnya diriku melalui cermin. Setelah itu kami terus ngentot sampai akupun muncrat lagi di dalam vaginanya. Rahimnya kini bercampur air seni kami dan juga pejuku.
Barulah kemudian aku kembali ke kamarku. Sebenarnya aku mau membantunya mengelap ceceran air kencing kami di lantai, tapi kata kak Risa gak usah. Kak Risa memang baik.
****
Tentunya tidak hanya hari itu saja kami bersetubuh dan melakukan perzinahan sedarah ini. Namun terus-terusan tiap malam setelah Papa Mama tidur, bahkan pernah kami curi-curi kesempatan melakukannya di siang hari waktu mereka tidur siang atau nonton tv. Seandainya orangtua kami melihatnya!
Kami juga melakukan hal yang semakin gila, seperti saling mengencingi satu sama lain. Aku mengencingi tubuh kak Risa, dia juga mengencingi tubuhku. Sensasinya benar-benar luar biasa. Kami melakukkannya di kamar mandi. Tapi pernah juga sekali waktu itu aku mengencingi kakak kandungku ini di kamarnya. Membuat wajahnya, tubuhnya, serta lantai kamarnya jadi pesing oleh air kencingku. Mengencingi kakak sendiri? Gila bukan? :P
Dan kini, orangtua kami akan kembali ke kota XX untuk mengurus kerjaan. Meninggalkan kami berdua di rumah ini.
“Kalian akur-akur yah… jangan ribut terus” ujar Mama.
“Dek, jaga kakakmu, jangan kamu usilin terus, dengerin dia ngomong” nasehat Papa padaku.
“Sip Pa… aku pasti bakal jagain kakakku kok…” ujarku sambil tersenyum pada kak Risa. Tentunya hanya kami berdua yang tahu maksud ucapanku ‘jagain kakakku’ itu.
“Ya sudah… jaga diri kalian baik-baik yah…”
“Iya…. Bye… Pa… Ma..” pamit aku dan kak Risa pada orangtua kami. Merekapun berangkat dengan mobil.
Aku dan kak Risa lalu saling pandang.
“Dek… sekarang kita cuma berdua nih di rumah, bebas… hihihi”
“Iya kak, hehehe…”
“Yuk dek masuk” ujarnya sambil menarik tanganku menuntunku masuk ke dalam rumah. Pintu depanpun tertutup. Kalian tentu tahu bukan apa yang akan terjadi selanjutnya?? Hanya ada aku dan kakakku yang cantik ini di rumah. Kalian pasti tahu bagaimana kami akan menghabiskan hari-hari kami selanjutnya bukan? Hehe… Ya… persetubuhan panas, liar, dan tiada henti, antara aku dan kakakku yang cantik, kak Risa.
“Risa… Andre… buka pintunya, itu kacamata Papa ketinggalan!”
Waduh!
****
Tamat
Monday, November 27, 2017
Jangan Sampai Papa Mama Tahu yah Dek (part 2)
Senangnya tiap hari bisa manja-manjaan dengan kakakku tersayang. Aku sungguh beruntung. Kak Risa sungguh kakak yang sempurna. Udah cantik, seksi, baik hati pula. Hampir tiap hari aku menguras peju karena ulah kakak kandungku ini. Dia sering membuat pejuku muncrat-muncrat gak karuan, tentunya sebagian besar ku tumpahkan ke wajah atau ke tubuhnya.
Aku ingin berduaan terus dengannya, ingin mesum-mesuman terus tiap hari dengan kak Risa, tapi hari ini orangtua kami lagi-lagi datang berkunjung. Sehingga aku jadi tidak bisa ngapa-ngapain, padahal kantong zakarku sudah pengen dikeluarin lagi isinya, tapi gak ada kesempatan.
“Adek! Ayam di piringmu masih ada kok comot punyanya kakak sih?”
“Soalnya aku suka paha kak…”
“Tapi jangan seenaknya juga ambil ayamnya kakak dong!” ujarnya kesal sambil mencomot balik ayam goreng di piringku. Hehe, kadang-kadang memang menyenangkan bikin dia kesal gini. Walaupun marah tapi dia tetap saja terlihat cantik imut menggairahkan. Siapa sih yang gak pengen punya kakak kayak kak Risa?
“Sudah sudah… kalian ini dari dulu berantem terus sih? Tapi kalau lagi akrab, lengket banget kayak lem” ujar mama geleng-geleng melihat tingkah kami.
“Tau tuh Ma, adek tuh ngeselin banget! Udah sering dapat paha juga! Dia bete kayaknya keinginannya gak kesampean,” ujar kak Risa tersirat di hadapan Papa Mama. Tentunya cuma aku yang tahu kalau maksudnya itu adalah pahanya kak Risa, dan benar kalau aku lagi kesal karena tidak bisa menyentuh kakakku ini dari tadi pagi. Aku pengen banget nyelipin penisku di paha putih mulusnya itu. Menggesek-gesekkan penisku di sana sampai aku ngecrot yang banyak. Di dadanya juga boleh. Pasti enak banget gesekin penisku di antara dua buah dadanya yang lembut itu. Papa Mama ini kenapa pulang sih!?
Saat Papa Mama di rumah tentunya kak Risa berpakaian yg dapat dibilang sopan meski tidak tertutup amat. Celananya setidaknya selalu di bawah lutut. Dia juga kelihatannya memakai dalaman. Sungguh berbeda jika hanya berdua denganku yang pakaiannya sungguh sembarangan amat, nyaris telanjang, bahkan kadang beneran telanjang bulat keluyuran di dalam rumah. Ugh, andai Papa Mama tahu kelakuan putri mereka ini. Terutama Papa, papa itu orangnya sangat keras mengenai cara berpakaian. Bisa jantungan mereka kalau melihat putri mereka ini mengumbar auratnya sembarangan. Untung saja cuma aku yang mengetahui kelakuan nakal kak Risa.
Akhirnya selesai juga makan malam yang dipenuhi kebisingan antara aku dan kak Risa itu. Setelah cukup lama ngobrol-ngobrol bersama di ruang tv, orangtua kami lalu masuk ke kamarnya untuk beristirahat, begitupun kak Risa yang katanya ingin bikin tugas. Aku juga kembali ke kamarku. Huh, terpaksa aku hanya beronani sendiri malam ini. Hanya nonton bokep JAV yang baru selesai ku download.
Jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Aku memutuskan untuk tidur saja, namun aku ke dapur dulu untuk minum. Di luar kamar suasana sudah gelap karena lampu-lampu sudah dimatikan. Dari cahaya remang-remang itu aku lalu melihat seseorang di dapur. Kak Risa!
Aku bertemu kak Risa yang sepertinya juga ingin ambil minum di dapur. Tapi yang bikin aku terkejut bukan itu, kakakku itu hanya memakai baju kaos saja! Tanpa celana maupun celana dalam sama sekali! Baju kaos warna merahnya itupun terlihat tidak bisa menutupi vaginanya. Nekat amat!
“Kak…!” panggilku berbisik keras.
“Hmm? Napa dek?”
“Kok cuma pake begituan sih? Ntar Papa lihat!”
“Kan mereka di kamar dek…” jawab kak Risa santai. Duh, kak Risa ini! Bisa-bisanya dia tenang-tenang saja hanya memakai kaos begitu keluyuran di dalam rumah, padahal lampu kamar Papa Mama masih nyala, yang berarti mereka masih belum tidur. Kalau nanti tiba-tiba mereka keluar kamar untuk minum atau ke kamar mandi gimana coba? Entah apa yang akan terjadi kalau mereka melihat anak gadis mereka yang mereka kenal sopan ini malah berpakaian sembrono begitu. Ugh, aku yang malah jadinya berdebar-debar.
“Tapi kan kak…” aku mencoba mengatakan apa yang aku cemaskan, tapi belum selesai aku bicara, kak Risa sudah menempelkan telunjuknya ke bibirnya agar menyuruh aku diam, lalu mengedipkan mata dengan nakal.
Sambil tetap memegang gelas, Kak Risa kemudian berjalan ke arah ruang tengah, lalu berhenti tepat di depan pintu kamar Papa Mama. Oh my God! Aku gemetaran melihat tingkah kakak kandungku yang super nekat itu. Dia seakan-akan menantang kecemasan hatiku barusan.
Aku mencoba memanggil kak Risa tanpa suara dan dengan isyarat tangan, tapi kak Risa lagi-lagi menempelkan telunjuknya di depan bibirnya. Dia lalu minum seteguk kemudian tersenyum manis padaku. Senyum yang berarti dia masih akan menunjukkan sesuatu padaku.
Benar saja! Satu tangannya yang tidak memegang gelas kemudian mengangkat ke atas, gayanya seperti akan mengetuk pintu kamar Papa Mama! Sumpah, aku panas dingin dibuatnya. Tubuhku lemas. Entah apa jadinya kalau kak Risa beneran mengetuk pintu kamar Papa Mama. Please kak… stop…
Untung saja kak Risa tidak benar-benar melakukannya. Dia hanya sekedar menempelkan telapak tangannya saja di pintu itu, bukan mengetuk. Tapi aksi nakalnya masih belum selesai. Dia lalu memutar tubuhnya kemudian minum sambil berdiri bersandar di pintu kamar Papa Mama! Ugh… kak Risa…. Ampuuun. Kakakku ini betul-betul hobi bikin aku jantungan.
Puas melihat aku yang mati kecemasan di sini, kak Risapun kembali ke dapur tempat aku berdiri. Kak Risa sungguh nakal! Aku sungguh gemes punya kakak kayak dia. Ekspresinya yang diimut-imutkan itu bikin aku gak tahan untuk memeluknya.
“Kak Risa…” aku langsung menerkamnya saat dia kembali ke dapur, ku peluk kakak kandungku yang cantik ini erat-erat dari belakang.
“Adek! kamu ini main peluk-peluk aja sih!?” Ucapnya seakan tanpa dosa dengan apa yang sudah dia lakukan barusan.
“Kakak nakal banget sih… kalau ketahuan gimana coba!?”
“Ketahuan apa?”
“Ketahuan kalau kakak bajunya sembarangan begitu sama Papa Mama”
“Hihihi, iya yah… mereka kan taunya kakak selalu sopan dan tertutup yah dek… hihihi”
“Iya… makanya…”
“Iya deh… tapi pelan-pelan dong meluknya” pintanya. Ku renggangkan pelukanku. Senangnya ternyata kak Risa memperbolehkanku untuk terus memeluknya. Aku sangat menyukai saat-saat kakakku ini ada di dalam pelukanku. Rasanya begitu nyaman, tapi juga membuat nafsuku naik, apalagi karena ulahnya barusan itu. Penisku sampai kembali ngaceng maksimal meskipun aku baru saja beronani.
“Dek…”
“Burungmu bangun lagi yah?”
“Iya kak... udah kangen sama kakaknya, dari pagi gak dapet apa-apa, hehe..”
“Hihihi… kasian”
Kak Risa lalu lanjut minum. Dia terlihat lama sekali menghabiskan air yang ada di gelasnya, seakan membiarkan aku untuk berlama-lama memeluknya. Mungkin dia memberiku sedikit kesempatan karena seharian ini aku tidak bisa ngapa-ngapain terhadapnya. Rasanya senang banget. Kakakku ini sungguh pengertian. Akupun terus memeluknya sambil sesekali mengecup pundak dan leher kak Risa. Tapi tentu saja sekedar memeluk saja masih kurang bagiku.
“Kak…”
“Hmm? Apa dek?”
“Aku pengen dong…” pintaku sambil tetap memeluknya dari belakang. Sambil berkata demikian aku juga sedikit menghentakkan pinggulku ke depan berharap dia mengerti maksudku.
“Pengen apaan dek? Minum juga? Nih…” ujar kak Risa sambil menyodorkan gelas yang masih berisi sedikit air padaku. Huh, kak Risa ini. Dia pura-pura gak tahu apa gimana sih? Akupun nurut-nurut saja menghabiskan air putih dari gelas yang disodorkannya karena aku memang haus.
“Udah?” tanyanya sambil meletakkan gelas ke atas lemari es.
“Kurang kak…”
“Dasar… udahan ah, kakak mau bobok” ujarnya sambil mencoba menepis tanganku di pinggangnya, tapi ku tahan. Aku betul-betul pengen bermesraan dengan dia lagi malam ini.
“Kak…”
“Apa sih…?”
“Aku ikut tidur di kamar kakak dong…”
“Huuu… alasan aja pengen tidur bareng, bilang aja pengen bi-kin ko-tor kakakmu lagi. Iya kan?” ucapnya menekankan kata ‘bikin kotor’.
“Hehehe, iya… tahu aja. Aku pengen pejuin kakak lagi, kangen nih…”
“Kangen apaan, belum juga sehari”
“Berarti boleh kan kak?”
“Gak ah…”
“Yah kak… boleh dong… ntar aku panggil Papa lho biar dia liat kalau bajunya kakak pamer-pamer aurat kayak gini, hehe” ancamku sambil menyibak-nyibakkan baju kaosnya yang memang tidak bisa menutupi bagian bawah tubuhnya itu.
“Iihh.. jahat banget sih kamu dek pake ngancam kakak segala. Ntar kakak kasih tau juga lho kalau kamu tiap hari pipisin kakaknya sendiri pake peju, hihihi”
“Biarin…”
“Dasar kamu! Ya udah boleh deh tidur bareng, soalnya besok seharian kamu pasti gak bisa apa-apain kakak lagi, hihihi… Tapi sebelum subuh kamu harus balik ke kamarmu ya dek..”
“Oke kak…” Uhhhh… aku senang banget. Akhirnya bisa juga manja-manjaan sama kak Risa meski ada orangtua kami di rumah. Gak sabaaaaaar.
“Tapi sebelum kita ke kamar…” ujarnya menggantung memotong kalimatnya.
“Ngapain kak sebelum ke kamar?”
“Hmm.. Kamu penasaran gak dek, kalau kita manja-manjaannya di sana dulu” ucapnya sambil menunjuk sofa di ruang tengah, di depan kamar Papa Mama.
“Hah?? Di sana kak?” Apa sih yang dipikirkan kakakku ini. Masa bermanja-manjaan di depan kamar Papa Mama sih? Kak Risa sungguh nakal, suka banget nyerepet-nyerepet bahaya gitu.
“Iya.. pengen coba nggak kamunya?” tanyanya lagi dengan senyum nakal, bikin aku gregetan saja.
“Tapi kan kak… kalau kita ketahuan gimana? Di kamar kakak aja deh… jangan yang aneh-aneh…”
“Yakin? Padahal kalau kamu mau, kakak bakal kasih kamu hadiah lho…”
“Hah? A..apan kak?”
“Hihihi… dengar kakak bakal kasih hadiah langsung semangat kamunya. Nanti dong… jawab dulu, kamu mau nggak nih?” tanyanya lagi. Ugh, apa yang harus aku lakukan? Aku betul-betul penasaran bagaimana rasanya, tapi resikonya terlalu besar kalau kami mesra-mesraan di sana. Melihat ulah kak Risa tadi saja aku sampai panas dingin, ini malah mengajakku bermesra-mesraan di sana.
“Coba dulu yuk…” ajaknya lagi. Aku bingung, tapi nafsu dan rasa penasaranku jauh lebih besar, ketahuan-ketahuan dah. Akupun mengangguk mengiyakan ajakannya.
“Iya deh kak…” jawabku yang disambut senyuman manis nan nakal darinya.
Kak Risa lalu menuntunku ke ruang tengah dengan menarik tanganku. Sambil kami berjalan ke sana, dia terus memandangku dan tersenyum manis, seolah berkata kalau tidak akan apa-apa. Kak Risa memang tidak terlihat santai juga, aku tahu kalau dia sedang berdebar-debar cemas sekarang. Dia juga takut kalau perbuatan kami akan ketahuan. Tapi demi sensasi baru yang akan kami dapatkan, kamipun nekat berbuat begini.
Sesampainya di sana, kak Risa lalu mendudukan aku ke sofa. Dia kemudian duduk di pangkuanku. Vaginanya yang tidak tertutupi itu tepat berada di atas tonjolan penisku yang masih tertutup celana. Dengan tersenyum manis padaku, kak Risa lalu mendekati wajahku untuk menciumku. Dadaku berdebar-debar, kami akan berciuman di depan kamar Papa Mama!
“Cup” Aku dan kakak kandungku ini kemudian berciuman dengan panasnya, ciuman penuh nafsu dan ketegangan karena kami melakukannya di dekat kamar orangtua kami. Benar saja, sensasinya jauh lebih luar biasa dari ciuman yang biasa kami lakukan. Akupun mempererat memeluk kakakku. Tubuh kami menempel. Aku dapat merasakan kalau dadanya juga berdebar kencang saat ini.
“Enak kan dek?” bisiknya pelan di telingaku.
“E..enak kak” jawabku lirih.
“Mau lanjut di kamar atau terus di sini hayo?”
“Di sini aja deh kak, hehe” jawabku. Dia tersenyum sambil menahan tawa, mungkin merasa lucu karena aku tadi menolak ajakannya untuk mesum-mesuman di sini, namun sekarang malah ketagihan. Kak Risa kemudian memagut mesra bibirku lagi. Kamipun kembali berciuman.
Cukup lama kami berciuman. Aku dan kak Risa juga terus saling bertukar air liur. Sebuah perbuatan yang sangat ganjil tentunya jika sampai terlihat oleh orang tua kami. Tapi kami terus melakukannya lagi dan lagi, bahkan semakin liar dengan saling meludahi mulut satu sama lain, berciuman, meludah lagi, berciuman lagi, meludah lagi, begitu terus berkali-kali.
Hawa semakin memanas. Tubuhku dan tubuh kakakku sudah mulai berkeringat. Aku yang horni bahkan menjilati butiran keringat kak Risa yang ada di wajah cantiknya sampai ke lehernya. Aku sungguh menyukai apapun dari tubuh kakak kandungku ini, termasuk keringatnya. Bau tubuhnya yang berkeringat juga membuat aku semakin bernafsu. Kak Risa tersenyum manis sambil menahan geli karena aksi jilat-jilatanku itu. Akhirnya diapun ikut-ikutan menjilati dan membasuh wajahku langsung dengan lidahnya.
Entah berapa lama kami melakukannya, saling menelan air liur dan menjilat keringat begini, namun yang jelas ku lihat lampu kamar orangtua kami sudah mati, mereka sudah pergi tidur. Tapi hal itu malah membuat aku kecewa. Entah kenapa aku malah berharap perbuatan aku dan kak Risa ketahuan oleh Papa Mama. Membayangkan kalau perbuatan kami benar-benar akan ketahuan membuat aku semakin horni. Apakah kak Risa juga berharap demikian? Karena ku lihat sekarang dia sudah mulai melenguh pelan seakan ingin membangunkan Papa Mama. Suara decakan bibir kami yang beradu juga semakin keras. Aku juga mengeluarkan suara menyebut-nyebut kak Risa. Aku sungguh bernafsu pada kakak kandungku ini. Aku ingin sesuatu yang lebih dari ini. Sesuatu yang lebih beresiko dan gila bila sampai ketahuan orangtua kami. Sesuatu perbuatan yang lebih tidak pantas dilakukan oleh saudara sekandung.
Seakan mengetahui isi kepalaku, kak Risa kemudian berbisik memanggilku.
“Dek…”
“Y..ya kak?”
“Mikirin apa sih?” tanyanya manja.
“Eh, itu… katanya kakak mau kasih aku hadiah, hehe”
“Oh… mikirin itu”
“I-iya kak… emang apa sih hadiahnya”
“Hmm… kakak pikir gak apa deh sekali-kali kasih kamu itu”
“Itu? Itu apa kak maksudnya?”
Kak Risa tidak menjawab, dia hanya senyum-senyum manis saja padaku.
“Tapi kamu jangan berisik yah… eh, tapi kalau berisik dikit juga gak apa kok… hihihi” Ugh, kak Risa… Dia berharap aku berisik agar orangtua kami memergoki??
“Apaan sih kak?” tanyaku lagi sungguh penasaran. Tapi dia lagi-lagi hanya tersenyum manis, kali ini disertai kedipan mata kiri sambil memiringkan kepala. Ugh.. imutnya.
Kak Risa lalu turun ke bawah, dia menurunkan celana pendekku beserta celana dalamku. Penisku yang dari tadi tegang itupun langsung bebas berdiri tegak di hadapannya. Jangan-jangan dia akan…
“Slruup” Kak Risa memasukkan penisku ke dalam mulutnya! Dia mengulum penisku! Aah… rasanya sungguh tidak terkatakan. Akhirnya aku dapat merasakan penisku di dalam rongga mulut kakak kandungku yang cantik ini. Jadi inikah hadiah dari kak Risa itu? Tapi kenapa harus di saat sekarang ini? Di waktu Papa Mama di rumah, bahkan di sebelah kamar Papa Mama? Sepertinya yang kak Risa pikirkan sama denganku. Karena keberadaan Papa Mama lah yang membuat kami nekat ingin mencoba sensasi yang lebih gila.
“Kak Risa…” erangku. Aku tidak kuat untuk tidak bersuara memanggil dirinya. Dia sendiri merespon panggilanku dengan menatap mataku dalam-dalam, bahkan berusaha tersenyum meski mulutnya penuh oleh penisku. Kak Risaku yang cantik terlihat semakin cantik dengan wajah berkeringat sambil mengulum penisku itu. Aku semakin berharap-harap cemas orangtua kami membuka pintu kamarnya dan memergoki aksi tidak wajar kami sebagai saudara sekandung ini. Ma.. Pa… lihat… Kak Risa yang kalian kenal sopan dan alim sedang menyepong kontol adek kandungnya sendiri, batinku berteriak.
Aku hanya bisa menikmati perlakuan sayang kak Risa pada penisku. Dia menjilati apapun di bawa sana, mulai dari batang penisku, buah zakar, sampai mengulum rambut kemaluanku hingga basah oleh liurnya.
“Enak dek?” tanyanya kemudian sambil tetap mengocok pelan batang penisku.
“E..enak kak.. makasih yah…”
“Lakukan apapun yang adek mau ke mulut kakak yah… bebas kok…” ujarnya sambil tersenyum lalu kembali melanjutkan mengulum penisku. Lakukan apapun yang aku mau? Maksudnya?
Seakan menjawab pertanyaanku, kak Risa lalu menuntun tanganku untuk diletakkan ke kepalanya, lalu sambil memegang tanganku dia menekan kepalanya sendiri sehingga penisku makin masuk ke mulutnya. Jadi inikah maksudnya memperbolehkan aku untuk memperlakukan mulutnya sesukaku? Boleh menekan kepalanya dalam-dalam ke selangkanganku jika aku memang mau? Tentu saja aku mau.
Akupun lanjut terus melakukannya. Ku tekan kepala kakak kandungku ini lagi sampai mentok ke kerongkongannya. Beberapa saat kemudian ku tarik kembali, lalu ku tekan kembali dalam-dalam, lalu ku tarik kembali, begitu terus selanjutnya. Semakin lama kocokan penisku dengan mulutnya semakin cepat. Suara peraduan penisku dan rongga mulutnya semakin menjadi-jadi. Aku semakin berharap orangtua kami mendengar suara decakan aneh ini sehingga mereka keluar kamar dan melihat aksiku ini. Dadaku semakin berdebar-debar tidak karuan. Sensasinya sungguh luar biasa. Saking bernafsunya, aku sampai menahan kepala kakakku itu sangat lama di selangkanganku.
“Eh, ma..maaf kak” saat aku tersadar kak Risa sudah mangap-mangap di bawah sana. Segera ku lepaskan kepala kak Risa.
“ Ngghh…” Ku lihat ada air mata di pinggir matanya. Wajahnya memerah.
“Ma..maaf kak… terbawa suasana” ucapku lagi, tapi aku melihat dia masih saja tersenyum padaku. Bahkan berusaha memasang wajah imut meski nafasnya masih ngos-ngosan begitu.
“Sssttt! Gak papa, berisik ih adek, ntar kita ketahuan lho…” katanya berbisik pelan masih dengan nafas belum teratur.
“Lagi adekku sayang?”
“Iya kakakku…”
“Genjotin mulut kakak kandungmu ini sesuka hatimu” katanya sambil tersenyum manis. Argh, kak Risa benar-benar gemesin.
“Iya kak Risa… aku bakal genjot mulut kakak tanpa ampun” jawabku mengikuti apa yang dikatakannya. Akupun kembali menggenjot mulut kak Risa. Menghujam kerongkongan kakak kandungku yang cantik ini lebih kasar dari tadi, semakin kasar dan semakin kasar. Kak Risa terlihat sangat kewalahan, sampai ingin muntah. Sebenarnya aku tidak tega, tapi nafsuku yang sangat tinggi membuat aku tidak ingin berhenti menggenjot kerongkongannya, lagian dia sendiri sudah memperbolehkan aku untuk berbuat apapun yang aku mau pada mulutnya.
Kak Risa benar-benar luar biasa, kalau begini terus aku bakalan muncrat. Sensasi mengetahui yang sedang mengulum penisku ini adalah kakak kandungku sendiri betul-betul membuat aku melayang. Pakaiannya yang hanya memakai baju kaos juga membuat aku semakin bernafsu. Tapi aku berharap aku juga dibolehkan ngentotin mulutnya yang di bawah. Kira-kira dia bakalan mau nggak yah? Tapi untuk saat ini yang begini saja sudah lebih dari cukup. Begini saja sudah sangat ganjil kami melakukannya sebagai saudara sekandung, di depan kamar orangtua kami pula.
Akhirnya aku tidak menahan-nahan lagi laju pejuku. Aku ingin menggenjot mulut mungil kakakku ini sampai aku muncrat-muncrat. Kak Risa sendiri tampak rela bila aku memang ingin ngepejuin rongga mulutnya. Setelah beberapa saat kemudian aku merasa tidak kuat lagi. Pa.. Ma.. aku ngepejuin mulut kakak…
Croooootttt… croooooot….
Pejuku muncrat-muncrat di dalam mulut kak Risa. Semua isi kantong zakarku kini berpindah ke dalam mulut kakak kandungku yang cantik ini. Jika Papa kami melihatnya pasti aku sudah dihajar habis-habisan.
Entah berapa kali semprotan, tapi ku tahu itu sangat banyak. Aku dapat melihat leleran peju mengalir di sela-sela bibirnya. Setelah selesai membuang peju ke mulutnya, kak Risa lalu menunjukkanku spermaku yang ada di dalam mulutnya. Dia memanjakan mataku dengan memainkan peju itu dengan lidah, mengunyah-ngunyahnya, serta berkumur. Yang membuatku takjub adalah ternyata akhirnya dia menelan itu semua! Calon keponakannya dia telan semua masuk ke lambungnya!
“Udah kan dek? Puas?”
“Puas kak… makasih… hehe”
“Ini perbuatan kita udah semakin jauh lho dek… malah nekat di depan kamar Papa Mama pula”
“Gara-gara kakak tuh…”
“Tapi seru kan? Kamu suka kan dek?”
“Suka sih… hehe”
“Gak boleh minta lebih yah kamunya… cukup sampai segini aja yah…” ujarnya kemudian. Aku sebenarnya ingin lebih dari ini, sangat menginginkannya. Aku rasa kak Risa sebenarnya dalam hatinya pasti juga penasaran bila perbuatan kami lebih dari ini, tapi sepertinya dia menahan-nahannya karena kita memang saudara kandung.
“Udah yuk dek, kita bobok” ucap kak Risa sambil berdiri. Ku hanya mengangguk sambil membiarkan lagi tanganku dituntun olehnya menuju ke kamarnya.
Sebelum ke kamar, kak Risa mampir dulu ke kamar mandi, pengen pipis katanya. Akupun menemaninya ke kamar mandi. Saat dia masuk, dia tidak menutup pintu, langsung jongkok di lantai kamar mandi dan kencing di sana. Pemandangan yang membuatku berhenti nafas! Aku melihat kakak kandungku yang cantik ini kencing di depanku! Mataku seakan tak mau lepas menyaksikan bagaimana lubang kelaminnya itu mengucurkan cairan kuning dengan derasnya. Kepalaku semakin pusing saat melihatnya malah tersenyum manis padaku.
“Kenapa dek? Kamu pengen pipis juga?”
“Eh… nggak kak…”
“Kalau gitu bantu cebokin kakak dong…”
“Hah?”
“Gak mau?”
Ugh, tawaran yang gila dari kakakku meminta adiknya sendiri untuk bantu cebokin dia. Aku sampai susah berkata-kata dibuatnya. Tapi tentu saja aku tak menolak tawaran itu. Akupun masuk ke kamar mandi, mengambil air dengan gayung, lalu menyeboki kak Risa. Aku juga menyiram lantai kamar mandi hingga bersih kembali. Sempat terbersit hal gila di benakku untuk mencoba bagaimana rasa air seninya. Ah… aku semakin kacau.
Setelah selesai, diapun bangkit dan menarik tanganku lagi dan menuntunku untuk kini menuju ke kamarnya. Untuk berjaga-jaga, pintu kamar kak Risa sudah dikunci.
“Udah dek… bobok gih, masih aja gerepe-gerepe kakak. Emang belum puas apa?” tanyanya heran karena aku masih saja maraba-raba buah dadanya dari balik kaosnya.
“Belum kak, hehe…” Aku emang belum puas menikmati tubuh kakakku ini, dan gak akan pernah puas.
“Dasar… Kakak mau bobok tau! Ya udah… tapi cuma peluk-peluk dan gerepe aja… Gak boleh gesek-gesek, eh, gesek-gesek dikit gak papa sih… hihihi”
“Hehe.. makasih kak Risa” Ugh, kak Risa betul-betul gemesin!
“Mimpi indah yah dek… kakak bobo dulu”
“Iya….”
Akupun malam itu tidur seranjang dengan kak Risa yang masih tetap hanya mengenakan baju kaosnya tanpa bawahan sama sekali. Aku juga masih tidak mengenakan celana. Jadinya penisku bersentuhan langsung dengan belahan pantat dan permukaan vaginanya yang terbuka bebas itu.
Aku tidur dengan kak Risa menjadi gulingku. Guling cantik yang bisa aku peluk dan aku gerepe sepuasnya. Aku lakukan hal mesum itu sampai akupun ikut mengantuk dan tertidur sambil memeluknya. Aku amat senang karena waktu tak sengaja terbangun tengah malam, justru aku yang sedang dipeluk kakakku ini.
Aaahh... Aku ingin terus seperti ini.
Bersambung..
Subscribe to:
Posts (Atom)
Mencoba Sex Dengan Singa
Namaku Sisilia, panggilanku Lia namun banyak juga yang menyapaku Sisilia. Kuingin cerita seks soal pengalaman seks dewasaku yang belom t...
-
Suatu hari aku mendapat telpon. Telpon dari sepupuku diluar kota. Sepupuku mengabari kalau anaknya mengalami kecelakaan. Baru saja rumah ...
-
Cerita Eksibisionis Lona 2 : Orang Tua yang Beruntung Muka Lona bersemu merah. Pertama karena barusan handuknya tanpa sengaja melorot...
-
PETUALANGAN KAKAK KU,KAK ALYA 11 Hampir setiap hari kini aku suka mengawasi depan rumahku sendiri seperti orang yang paranoid. Kejadia...