Saturday, December 2, 2017

Dita 3 : Tidak di Sengaja


Suatu hari aku mendapat telpon. Telpon dari sepupuku diluar kota. Sepupuku mengabari kalau anaknya mengalami kecelakaan. Baru saja rumah sakit menelponnya. Kabar yang mengagetkan. Andre, nama keponakanku itu. Andre kuliah di kotaku. Dia sempat tinggal dirumahku sebelum mendapat kos. Suara sepupuku terdengar panik, sedikit terisak pula. Dia minta tolong mengecek anaknya di rumah sakit. Dia sendiri akan segera datang, begitu mendapat tiket pesawat.

Beruntung saat itu waktu makan siang. Aku pamit ke manager dengan alasan makan diluar. Bertemu klien kupakai sebagai alasan tambahan. Siapa tahu waktuku kurang nantinya. Sebelum pergi, kutelpon suamiku.

“Serius ma?”

“Iya pa, ini mau ke rumah sakit naik taxi. Nanti papa bisa jemput nggak? Mama musti balik ke kantor lagi soalnya.”

“Oke, tapi mama udah makan siang belum?”

“Belum pa, nanti aja di rumah sakit.”

Selesai menelpon, aku berangkat. Langsung saja aku menuju ruang IRD. Menurut resepsionis keponakanku sudah dipindahkan. Dia sekarang ada di bangsal. Dikatakannya kalau lukanya tidaklah terlalu parah. Aku pun menuju bangsal yang disebutkan. Disana kulihat keponakanku. Ada seorang dokter bersamanya, dan seorang perawat. Kukatakan kalau aku adalah keluarganya. Dokter bilang kalau kondisi keponakanku baik. Hanya saja dia harus diopname, karena ada urat terkilir. Aku minta agar keponakanku dipindahkan ke kamar. Dokter setuju, tapi ada administrasi yang harus kuurus.

“Lukanya dimana aja Dre?”

Andre menunjukkan luka ditubuhnya. Di lengan dan lutut kanan, serta pangkal kaki yang terkilir. Dibeberapa bagian terlihat memar. Semuanya sudah diobati dan diperban. Dia juga menjelaskan tentang kronologis kejadian.

“Yang nabrak langsung lari tante.”

Ya ampun, ternyata dia menjadi korban tabrak lari. Andre bilang motornya rusak parah. Dia ditabrak dari samping.

“Nggak usah dipikirin motornya, yang penting sekarang kamu istirahat aja.”

Tak lama suamiku datang. Bersamaan dengan datangnya beberapa perawat. Andre dipindahkan ke kamar, sesuai permintaanku. Kutelpon sepupuku mengabarkan kondisi anaknya. Paling tidak akan bisa mengurangi kekhawatirannya.

“Maaf bu, ini beberapa berkas yang harus ibu isi,” ucap seorang perawat wanita.

Aku dan dia lalu duduk di sofa. Disana kami berbincang, sambil mengisi berkas tersebut. Rata-rata meminta data personal keponakanku. Cukup banyak lembaran yang harus dilengkapi. Suamiku ikut membantuku. Setelah semua selesai, perawat itu pun pergi. Tak terasa jam makan siangku akan segera habis. Untung suami membawakan paket makanan. Dia juga membawakan jajanan dan minuman. Kuambil satu box nasi campur, dan sisanya kusimpan di kulkas. Sambil makan, aku menelpon ke kantor lagi. Kulakukan karena ada misscall di ponselku. Berikutnya kutelpon adikku. Aku minta dia datang selesai kuliah.

Setelah memastikan semua beres, aku pamit. Kusampaikan ke Andre kalau adikku akan segera datang. Kukatakan juga kalau aku harus kembali ke kantor. Dia pun tidak keberatan aku tinggal. Hanya dia minta tolong dipapah ke kamar mandi dulu. Katanya ingin buang air kecil. Suamiku membantunya. Setelah itu aku dan suami berpamitan.

“Ma, kita pulang sebentar yuk.”

“Emang ada apa pa?”

Aku heran dengan perkataan suamiku. Kulihat lagi jam tanganku. Tidak banyak waktu lagi. Aku benar-benar harus segara tiba di kantor. Demikian juga suamiku, harusnya.

“Udah mepet loh pa waktunya.”

“Iya bentar aja kok. Bentar aja..”

Tak mau lagi kuberdebat dengan suami. Mobil sudah diarahkannya menuju rumah. Aku sih tidak masalah, karena kantorku dekat dari rumah. Justru suami yang kukhawatirkan. Kantornya berada cukup jauh, belum dipotong macet.

Sampai di rumah, suami menggandengku. Kondisi rumah sepi, kosong. Pembantuku pasti keluar. Jam segini, biasanya menjemput si kecil dari playgroup. Awalnya kupikir suami melupakan sesuatu, atau ada yang mau dibicarakan. Kuikuti langkahnya menuju ruang tamu. Disana tiba-tiba suamiku memelukku. Diciumnya bibirku. Dipagut juga bibirku dengan ganas, seperti sedang dilanda birahi. Tangannya meraba kemana-mana. Ke dadaku, juga pahaku. Aku kaget. Berusaha kuhentikan suamiku. Sedikit sulit, tapi akhirnya berhasil.

“Ada apa sih pa?” ucapku masih dalam kekagetan.

“Ma, papa horni nih.”

Kulihat wajah suamiku. Wajahnya memerah. Aku tahu ekspresi itu. Dia memang sedang dilanda birahi. Dia sedang ingin bercinta.

“Tapi pa, waktunya nggak cukup loh.”

Berusaha kumenolak. Dia tahu aku tak pernah menolak, kecuali menstruasi tentunya. Hanya saja, saat ini kurasa waktunya kurang pas. Saat ini seharusnya aku berada dikantor.

“Quicky aja ya ma, please..”

Suamiku merajuk. Dia terus memelas.

“Please ma, please..”

Aku pun tak kuasa lagi menolak. Bukan karena terangsang, tapi lebih karena mepetnya waktuku. Semakin kutolak, semakin terlambatlah aku.

Maka berbaliklah aku, sesuai permintaan suami. Kuangkat rok dan menurunkan celana dalamku. Kuambil posisi nungging didepannya. Kedua tanganku bertumpu di sofa. Tak lama kurasakan penis suami menerobos masuk. Mulailah dia melakukan penetrasi. Aku harus menggigit bibirku. Kurasakan sedikit sakit dibawah sana. Vaginaku masih kering, aku sebenarnya belumlah siap.

Suamiku menggenjot perlahan diawal. Semakin lama makin kuat, makin cepat. Perlahan vaginaku menyesuaikan. Cairanku sedikit demi sedikit keluar. Tak pernah dia menggenjotku seperti ini. Kencang, kasar, cenderung liar. Diremas juga pantatku kencang sekali. Ini jelas diluar rutinitas seks kami sehari-hari.



“Sshh.. pa, pelan-pelan..”

Aku mendesis. Aku merintih.

“Sshh.. Sshh.. pa, aahh..”

Mungkin suami mendengar rintihanku. Dia menarik penisnya. Tak lama kurasakan jilatan di vaginaku. Lidah suamiku menari-nari dibawah sana. Aku bergelinjang. Dia memegangi pantatku makin kuat. Seperti suami ingin memancing orgasmeku. Aku memang paling tidak tahan dengan permainan lidahnya. Bahkan sejak pacaran dulu. Sering kali aku mencapai orgasme hanya dengan jilatannya. Benar saja, bagian bawahku mengejang tak lama kemudian.

Sadar dengan itu, suamiku memasukkan lagi penisnya. Kali ini genjotannya semakin kencang. Semakin kencang, kencang dan kencang. Tubuhku bergunjang-gunjang hebat.

“Aahh.. aahh.. aahh…”

“Oohh.. oohh.. oohh..”

Aku tak kuasa lagi menahan diri. Aku mendesah, aku melenguh, dan aku pun berteriak. Semakin kencang genjotan suami, semakin kencang teriakanku. Begini ternyata rasanya sensasi hardcore. Aku menyukainya, sungguh menyukainya. Detik itu kesadaranku menghilang. Mataku tak lagi melihat apapun, telingaku tak lagi mendengar apapun. Fokusku kini hanya ada dibawah sana. Pada kelamin kami berdua.

“AAKKHH..!!”

Aku berteriak kencang. Pun demikian suamiku. Kami orgasme bersamaan. Tak pernah kurasakan yang seperti ini sebelumnya. Rasanya luar biasa. Sungguh persetubuhan yang sensasional. Berlangsung singkat, tapi sensasinya dahsyat. Beberapa detik aku hanya terduduk disofa. Demikian juga suamiku. Semuanya terasa gelap. Nafas kami tersengal-sengal. Sampai akhirnya semuanya kembali. Aku kembali ke dunia, setelah tadi sempat terasa terbang ke langit. Aku menyukai sensasi ini.

Kuambil tas jinjingku, mengambil tisue basah. Kubersihkan permukaan vaginaku. Disana ada lelehan putih dan bening. Itu mungkin cairanku bercampur sperma suami. Tak pernah cairanku keluar sebanyak ini. Aku berdiri. Kutarik naik celana dalam dan kurapikan pakaian. Suamiku masih terduduk di sofa, matanya masih terpejam. Sepertinya dia juga merasakan kenikmatan yang sama. Aku duduk disampingnya. Kubersihkan penisnya dengan tisue basah. Mata suamiku terbuka, dia tersenyum. Dikecupnya keningku. Lalu tiba-tiba terdengar suara.

“Bapak? Ibu?”

Ternyata itu pembantuku. Dia berdiri di pintu depan. Entah berapa lama dia sudah berdiri disana. Refleks kulepas penis suami dari genggaman. Suamiku juga refleks menarik boxer, berikut celana panjangnya. Sedetik berikutnya kami bertiga mematung. Hanya saling pandang.

“Adek, mana bi?” ucapku memecah kecanggungan.

“Ma-masih di sekolah bu, kan hari ini ada pelajaran ekstra.”

Aduh, aku melupakan hal itu. Sepertinya tadi pembantuku berbelanja, bukan menjemput anakku. Kulihat dari dua tas plastik yang dipegangnya.

“Ya sudah, bawa dulu belanjaannya ke dapur bi,” ucapku lagi.

“Iya bu.”

Suamiku sudah menarik resletingnya. Pakaiannya sudah terlihat rapi. Pembantuku segera berlari kecil menuju dapur. Kulihat guratan senyum di wajahnya. Wajar saja, dia baru dia memergoki majikannya bermesraan. Aku dan suamiku saling memandang. Kami pun ikut tertawa kecil.

***

Berikutnya, kami sudah ada di mobil. Dalam perjalanan menuju kantorku. Kami sama-sama membisu. Hanya musik dari radio yang terdengar dalam mobil. Sepertinya diotak masing-masing kami berpikir. Berpikir tentang apa yang baru saja terjadi.

“Kenapa sih papa mendadak horni kayak tadi?” tanyaku melepas kebisuan.

Suamiku menoleh kearahku.

“Gara-gara tadi di rumah sakit ma.”

Aku mengerutkan dahi. Mencoba mengingat apa yang terjadi di rumah sakit. Seingatku sih tidak ada kejadian yang bisa memancing birahi.

“Emang ada apa di rumah sakit?”

Suamiku mulai bercerita. Diawali ketika kami berada di kamar rawat. Dimulai saat aku berbicara dengan perawat wanita. Aku pun mulai mengingat-ingat. Suamiku berdiri disampingku saat itu. Jangan bilang dia terangsang melihat perawat itu? Jangan bilang perawat itu lebih seksi dari aku? Oh jangan, pikiranku langsung membayangkan yang tidak-tidak. Ternyata bukan, suamiku tidak mengatakan itu. Syukurlah, ucapku dalam hati.

Suamiku melanjutkan ceritanya. Kebetulan suami menoleh kearah keponakanku. Suami melihat sesuatu yang agak aneh. Keponakanku beberapa kali melirik kearahku. Istilahnya mencuri-curi pandanglah. Timbul tanda tanya dibenak suamiku. Melirik wajah mungkin tak apa-apa, tapi ini melirik ke arah bawah. Insting melindungi istrinya timbul. Suamiku lalu berjalan mendekat. Berpura-pura mengecek aliran infus. Diliriklah arah kemana keponakanku melirik. Disanalah suami mengungkap sesuatu yang memalukan. Katanya keponakanku mengintip isi rokku. Bukan mengintip tepatnya, tapi melihat. Tanpa kusadari, pahaku rupanya terbuka lebar waktu itu. Tahu sendirilah akibatnya. Celana dalamku terlihat dengan jelas. Sangat jelas kata suamiku.

“Idih papa, kok nggak langsung bilangin mama sih,” protesku.

Wajahku memerah. Bukan insiden celana dalam pertamaku memang, tapi tetap saja memalukan. Apalagi kalau itu terjadi didepan keponakan.

“Maunya sih papa bilangin mama, cuma kok papa jadi penasaran.”

“Penasaran kenapa?”

Suamiku kembali bercerita. Dia penasaran melihat selimut keponakanku. Terlihat tonjolan besar dibaliknya. Sebagai laki-laki, suami bisa menerka apa yang sedang terjadi. Pastilah keponakanku sedang memegangi penisnya. Apalagi saat itu tangan kirinya memang ada dalam selimut. Menurut suami, akulah yang memancing terjadinya hal itu. Aku sih tidak percaya begitu saja. Bagaimana pun saat tinggal bersama kami, Andre selalu sopan kepadaku. Tidak pernah ada niatan macam-macam. Paling tidak saat berada didepanku sih.



“Maksud papa? Andre...”

“Iya ma, dia onani.”

“Gara-gara mama?”

Suamiku mengangguk.

“Masa cuma liat celana dalam doang. Emang bisa gitu?”

Suamiku bercerita lagi. Ternyata tidak hanya soal celana dalam. Tanpa sadar, rupanya aku juga memberinya rangsangan lain. Pertama, kemeja putih yang kupakai. Tipisnya bahan secara samar memperlihatkan isi dibaliknya. Tahu sendirilah apa yang ada dibaliknya. Kedua, posisi jongkok dan nungging saat aku merapikan belanjaan suami. Posisi itu memamerkan paha dan pantatku. Terutama pantatku sih. Celana dalam model thong, membentuk pantatku nampak menggiurkan. Menurut pengakuan suami, itulah yang memancing kejadian di ruang tamu.

“Masa sih pa?”

“Iya ma, papa yakin Andre pengen banget ngangkat rok mama. Dia juga pasti bayangin gimana enaknya genjotin mama dari belakang. Papa aja gitu..”

Suami tertawa kecil.

“Idih papa, pantesan tadi langsung eksekusi. Jangan-jangan tadi Andre lama di kamar mandi..”

Aku dan suami saling pandang, lalu tertawa bareng.

“Oya, papa kasi tau rahasia deh.”

“Apa itu pa?”

“Tadi waktu kita making love, papa bayangin yang genjotin mama tadi itu si Andre loh.”

“Serius pa? Masa papa bayangin mama digenjot cowok lain sih.”

“Beneran ma, itu yang bikin papa tadi horni banget. Makanya jadi agak kasar, maafin ya.”

“Nggak apa-apa, mama suka kok. Tadi itu enak banget,” aku mengerling nakal.

Suami tersenyum puas melihatnya.

Tidak lama kemudian, kami pun sampai ditujuan. Kucium bibir suamiku. Ketika hendak turun dari mobil, dipegangnya tanganku.

“Ma, kapan-kapan kita ulangin lagi yuk. Seru loh.”

Kini suamiku yang mengerling nakal.

“Pasti deh mulai berfantasi yang aneh-aneh,” kujulurkan lidahku.

Suami tersenyum. “Tapi mama mau kan?”

“Mau apa dulu nih?”

“Mau ‘pamer-pamer’ kayak gini lagi, boleh..” tangan kiri suami perlahan masuk kesela pahaku. Ditariknya pelan kaki kananku. Posisi kakiku pun jadi mengangkang lebar. Aku tersenyum. Kutangkap apa yang dimaksudkannya. “..atau kalau mau making love sama cowok lain didepan papa juga boleh,” lanjutnya lagi.

Langsung saja kutepuk pundaknya. “Ih, nggak banget deh yang terakhir.”

Aku membelalakkan mata, sebagai tanda protes. Kujulurkan lidahku, dan bergegas keluar dari mobil. Kudengar lagi tawa kecil suamiku.

“Mama..”

Kumenoleh mendengar panggilan suami.

“I love you..” dia melempar ciuman.

Aku tersenyum dan melambai. “I love you too..”

***

Diruangan aku tersenyum-senyum sendiri. Kuingat lagi apa yang baru saja terjadi. Ketidak-sengajaan yang berakhir kenikmatan. Tanpa sadar kurabai sendiri kewanitaanku. Masih tersisa kenikmatan dibawah sana. Keperkasaan suamiku terpicu oleh kejadian kecil. Apakah itu benar adanya? tanyaku dalam hati. Kuterbayang lagi perkataan suami. Fantasi suamiku memang sedikit gila. Hanya saja kalau kenikmatannya seperti tadi, agaknya cukup sebanding.

Memamerkan bagian-bagian tubuhku? Kenapa tidak. Menjadi objek fantasi membuatku merasa seksi. Making love dengan pria lain? Hhmm.. entahlah, mungkin saja. Lagi pula itu sudah pernah terjadi sebelumnya. Ssstt.. ini rahasiaku dan kalian.


No comments:

Post a Comment

Mencoba Sex Dengan Singa

Namaku Sisilia, panggilanku Lia namun banyak juga yang menyapaku Sisilia. Kuingin cerita seks soal pengalaman seks dewasaku yang belom t...