“Andre, kamu penyelamat tante!” seruku bahagia.
Data presentasi yang kemarin kubuat muncul lagi. Girangnya aku melihat layar laptopku. Data grafik, tabel dan lain-lain semuanya lengkap. Tadinya data itu hilang begitu saja. Entah apa yang kutekan. Kini semuanya sudah kembali. Aku lega luar biasa.
“Muaahh, muaahh.”
Langsung kudaratkan ciuman dipipi Andre. Pipi kanan dan kiri. Saking bahagianya aku saat itu. Dia jadi tersipu. Wajahnya memerah. Tidak terbayang bagaimana paniknya aku tadi. Beberapa jam lagi aku ada jadwal presentasi. Kini hatiku lega, benar-benar lega.
Sebelumnya sudah kuceritakan sedikit tentang Andre. Dia adalah keponakanku, masih berstatus mahasiswa. Umurnya lebih muda dari Rido, adikku. Kuliah jurusan teknik elektro. Pengetahuan elektronya lengkap sekali. Baik itu hardware dan software. Itulah kenapa aku menelponnya saat laptopku gangguan. Bersyukur dia bisa datang secepatnya. Padahal baru kemarin dia kerumah membantuku. Sampai malam dia membantuku mengedit slide presentasi.
“Kamu ada kuliah kan hari ini? Maaf banget ya tante ganggu.”
“Cuma satu mata kuliah aja kok tante.”
“Ya ampun, kamu jadi bolos dong tadi?”
“Nggak kok, tenang aja tante. Dosennya nggak dateng hari ini. Tadi Andre malah lagi nongkrong ama temen waktu tante nelpon.”
Dia tersenyum. Menenangkan rasa bersalahku.
“Syukur deh kalo gitu. Oya hari ini kamu ada acara lain lagi nggak?”
Dia terdiam sesaat, sebelum menjawab. “Kayaknya sih nggak. Emang kenapa tante?”
“Kalo kamu nggak ada acara, bisa ikut nemenin tante presentasi nggak? Soalnya tante masih takut kalo ntar mendadak laptopnya error lagi.”
Andre mengiyakan ajakanku. Dia pun ikut bersamaku menemui klien. Dikarenakan mobil dinas semuanya sedang keluar, terpaksa kupakai mobil pribadi. Lagi-lagi kuberdayakan tenaga Andre. Kemarin dia menjadi asistenku. Hari ini selain menjadi teknisi, dia juga merangkap tugas sebagai sopir. Dia tidak menolak, malah tersenyum. Dia pun kujanjikan traktiran makan siang.
Selama perjalanan kusadari lirikan Andre. Sasarannya adalah paha dan dadaku. Terutama waktu mobil berhenti, lampu merah maupun macet. Kubiarkan saja, toh dia sudah banyak membantu. Teringat kembali aku kejadian di rumah sakit. Saat tidak sengaja kupamerkan isi rokku padanya. Mungkin dia juga teringat hal yang sama, entahlah.
Presentasiku dengan klien berjalan lancar. Hanya saja, berlangsung lebih lama dari perkiraan. Sampai-sampai melewati jam makan siang. Aku sih tidak masalah dengan itu. Apalagi makan siang sudah ditanggung mereka. Masalahnya aku jadi merasa bersalah kepada Andre. Waktunya jadi tersita karena kegiatanku. Apalagi dia musti menunggu diluar ruangan. Pastilah terasa sangat membosankan. Kukirim pesan singkat ke ponselnya. Dia membalas dan berkata tidak apa-apa. Dilengkapi pula dengan imotion smile.
“Maafin tante ya Dre, tante nggak tau loh presentasinya jadi lama.”
Andre menoleh dari belakang kemudi. Dia tersenyum.
“Kan udah dibilangin nggak apa-apa tante.”
Balas kulempar senyuman. Paling tidak hatiku lega, karena Andre tidak terlihat kesal.
Perjalanan menuju kantor sedikit terhambat. Situasi lalu lintas benar-benar padat. Dari informasi radio katanya ada pengalihan arus. Sedang ada demo mahasiswa menolak kenaikan BBM, kalau tidak salah. Beruntung lagu-lagu yang diputar cukup menghibur. Kulihat jam tangan. Tiga puluh menit lagi jam kerjaku berakhir. Lagi-lagi hari ini kerjaan harus kubawa pulang. Aku memang sedang malas mengambil lembur.
“Masih ada bahan presentasi buat diedit lagi tante?”
Mungkin Andre melihat raut kegelisahanku. Maka dari itu dia bertanya.
“Ya gitu deh.”
“Mau dibantuin lagi?”
“Nggak usah deh. Hari ini tante udah banyak ngerepotin kamu.”
Berusaha kutolak tawaran Andre. Hanya saja, Andre terus meyakinkan kalau dia tidak merasa direpotkan. Akhirnya kusetujui saja. Lagi pula kerjaanku memang masih menumpuk. Sebuah rutinitas setiap menjelang akhir tahun. Sesampainya diparkiran kantor, kutelpon suami. Rupanya suamiku masih dirumah mertua. Aku sendiri tidak bisa langsung meninggalkan kantor. Takut rumahku kosong, kuminta Andre balik dulu ke kos. Dia pun menyetujuinya.
“Ya udah, kalo gitu sampai ketemu dirumah ya.”
“Oke tante.”
Kami saling melambai. Kami pun berpisah. Kuberjalan kearah kantor, dia menuju motornya.
***
Hari sudah menjelang malam, saat aku sampai dirumah. Kubawa mobil memasuki garasi. Suami membukakan pintu untukku. Kami berciuman setelahnya.
“Malem banget Ma, Andre udah nungguin loh dari tadi.”
“Mama belanja beli makanan dulu nih. Papa ama adek udah maem?”
Suamiku menggeleng. “Belum, kan pengen disuapin mama.”
Kutoel hidung suamiku. Eh, malah nyengir. Dasar bayi besar manja. Kami lalu masuk ke dalam rumah. Suami membantu membawa plastik belanjaan. Kulihat pembantu masih ada di dapur. Dia masih belum berani pulang, kalau aku belum datang. Padahal sudah sering kuingatkan. Kasihan kalau dia kerap menungguku sampai malam. Aku tersenyum kepadanya.
“Mbo, tolong makanan ini dipanesin dulu ya. Abis itu boleh pulang deh.”
“Iya Bu.” Dia mengangguk.
Setelah itu aku melangkah kelantai atas. Suami memberitahu kalau Andre ada diruang kerja. Dua tangga terakhir, terdengar suara gelak tawa. Kubuka pintu ruangan. Disana kulihat Andre sedang bersama anakku. Mereka sedang bermain game komputer. Game wars kesukaan anakku. Mereka berdua menoleh. Andre tersenyum padaku.
“Hai, hai adek, jangan diganggu dong kak Andre-nya.”
“Ih, orang lagi seru nih. Mama ganggu aja deh.”
Kugelengkan kepala. Anak jaman sekarang memang susah diberitahu. Apalagi kalau sudah asyik dengan hobinya.
“Iya-iya, tapi adek makan dulu. Ajak kak Andrenya sekalian.”
“Ntar aja,” sahutnya singkat.
Pandangannya lalu kembali teralih ke komputer. Lagi-lagi kugelengkan kepala. Mirip banget sih kayak sifat mamanya dulu, pikirku. Tersenyum kudalam hati. Andre sendiri kemudian berdiri dan mendekatiku.
“Maaf tante, Andre malah jadi main sama adek.”
“Nggak apa-apa. Malah syukur dia ada temen mainnya, daripada keluyuran terus ke tetangga.”
Aku tersenyum. Andre ikut tersenyum.
“Mana data-datanya kalau gitu tante?”
“Ntar aja, tante mau mandi dulu. Kamu makan dulu aja dibawah sama Om.”
Kami bertiga kemudian turun bersamaan. Cukup susah membuat anakku berhenti bermain. Namun, Andre berhasil membujuknya. Dimeja makan sudah menunggu suamiku. Kutinggalkan mereka disana, kemudian menuju kamar. Didepan meja rias aku duduk. Kubersihkan wajah dari make-up. Setelahnya mulai kutanggalkan pakaian kerjaku. Masih tersisa daleman, saat pintu kamar terbuka. Kulihat disana berdiri suamiku.
“Halo cewek,” ucapnya sambil berjalan mendekat.
“Ih, ngapain sih Pa? Udah selesai maemnya?”
“Ntar aja dilanjutin. Papa nggak mau ngelewatin momen mama buka baju.”
Aku tersenyum mendengarnya. Masih saja dia dengan kebiasaannya yang satu ini. Bahkan, sejak kami masih pacaran dulu. Suami suka sekali memelukku selepas beraktifitas. Dia akan menciumi sekujur tubuhku. Katanya dia suka dengan aroma keringatku. Menurutku sih aneh, tapi kalau dia memang suka ya sudahlah. Seperti saat ini yang dilakukannya. Kubiarkan saja dia menciumi tubuhku. Terakhir dilepasnya bra dan celana dalamku. Menelanjangiku juga salah satu kebiasaan favoritnya.
Selepas ‘ritual’ suamiku itu, barulah aku membasuh diri. Suamiku sendiri telah kembali ke ruang makan. Sebenarnya tubuhku terasa lelah sekali. Ingin rasanya melepas penat dengan berendam. Namun, kusadari tidak enak membiarkan Andre menunggu lama. Maka kucoba cara lain melepas penat. Dengan membasahi kepala dibawah guyuran shower.
Tidak lama, aku telah selesai berpakaian. Kupakai pakaian casual santai. Sebuah kaos big size dan celana pendek. Saking besarnya kaos itu, aku terlihat seperti tidak memakai celana. Saat keluar dari kamar, kulihat semuanya masih dimeja makan.
“Udah pada selesai makan nih?”
“Udah. Mama makan dulu gih, kita sisain ayam tuh,” suamiku menyahut.
“Nggak ah, mau langsung kerja aja. Kasihan kalo ntar Andre pulang malem lagi kayak kemarin.” Kusambar apel diatas meja, dan menggigitnya. “Si mbo, udah pulang ya Pa?”
“Iya, baru aja.”
“Kalo gitu papa yang cuci piring sekali lagi ya. Terus temenin lagi adek bikin PR. Makasi.”
“Tuh dengerin tantemu, Dre. Siapa tahu nanti kamu nikahnya sama wanita karier, siap-siap deh bakal bernasib kayak Om gini nih.”
Mendengar itu kujulurkan lidahku. Suamiku dan Andre kompak tertawa.
Beberapa menit kemudian, aku dan Andre sudah didepan komputer. Kami mulai men-transfer data dalam bentuk PowerPoint. Kupilih data mana yang diperlukan, Andre yang mengolahnya. Aku sebenarnya bisa melakukan sendiri. Hanya saja, kemampuanku cuma mengubah kedalam bentuk statis. Keponakanku bisa membuatnya kedalam bentuk dinamis. Tampilkan gambar jadi lebih menarik. Bernuansa animasi, dan lebih colourfull gitu deh. Klien-klienku suka dengan tampilan seperti itu. Presentasi yang kulakukan pun jadi lebih mudah.
Tanpa terasa waktu berlalu begitu cepat. Kami masih asyik dengan kegiatan kami. Masih ada sedikit lagi yang perlu diselesaikan. Ditengah pekerjaan, terdengar ketukan. Muncullah suamiku dari balik pintu.
“Hai, masih sibuk nih?”
Aku dan Andre menoleh bersamaan.
“Hai Pa, dikit lagi kok.”
“Ya udah, kalo gitu papa tidur duluan aja ya.”
Berdiri aku dari kursi. Kudekati suami dan kudaratkan ciuman. Dipipi dan bibir. Kutanyakan keadaan si kecil. Dibilangnya si kecil sudah tidur. Suami lalu melambai ke Andre. Ditutupnya kembali pintu ruangan. Saat itu baru kusadari kalau hari sudah larut. Sudah pukul sepuluh malam. Kuingatkan Andre, tapi dia bilang masih sore buat anak muda. Mendengar itu aku tersenyum. Aku ijin keluar ruangan, dan kembali membawa dua gelas kopi. Kami butuh suntikan kafein.
Selama bekerja, diam-diam kuperhatikan mata Andre. Sesekali masih melirik seperti tadi siang. Tetap kubiarkan saja. Laki-laki kadang butuh pemacu semangat. Paha dan dada wanita efeknya lebih hebat dari kafein, setahuku sih.
Pukul sebelas lebih baru semuanya selesai. Kupindahkan data dari komputer ke laptop. Andre memastikan lagi kondisi laptopku. Menurut dia sih sudah tidak ada masalah. Dia lalu membantu merapikan meja. Setelahnya, kami turun menuju ruang tamu. Cahaya jadi temaram, karena suami mematikan beberapa lampu.
“Makasi ya Dre, keponakan tante baik banget deh,” ucapku sambil tersenyum.
Dia tersenyum balik. “Sama-sama tante.”
“Sini tante kasi hadiah.”
Kudekati dia, dan mendaratkan ciuman. Dipipi kanan dan kiri.
“Cu-cuma dipipi aja tante?” Suaranya terdengar ragu.
Tersenyum geli aku mendengarnya. Aku bisa mengerti maksud ucapannya tadi. Hanya saja, aku ingin menggoda keponakanku. Seberapa nakal dia sebenarnya.
“Terus mau dimana lagi emangnya?”
“Disini dong..” ucapnya sambil menunjuk bibir. Dia nyengir.
Kali ini aku tidak kuasa untuk tidak tertawa.
“Ih, keponakan tante ternyata genit ya.”
Beberapa detik, mungkin dia baru tersadar. Giliran Andre yang mendekat. Awalnya dia terlihat sedikit ragu. Seakan menunggu tanggapanku. Kuberikan dia senyuman. Perlahan dia pun berani mendekatkan bibirnya. Kembali kami berciuman. Berbeda denganku tadi, ciuman keponakanku terasa bergairah. Dipagutnya bibirku penuh nafsu. Merasa kurang nyaman, kudorong pelan dia menjauh.
“Pelan-pelan aja Dre, ntar bibir tante lepas loh.” Aku tersenyum.
Andre lagi-lagi tersipu. “Ma-maaf tante, abis udah lama nggak ciuman sih.”
“Ya udah, kalo gitu tarik nafas dulu.”
Dia menurut. Dan pelan-pelan kulihat Andre mulai tenang.
“Nah gitu dong. Sekarang duduk yuk.”
Terlebih dahulu aku yang melangkah ke sofa. Dia menyusul kemudian. Setelah duduk, Andre memandangiku. Sebuah tatapan penuh kekaguman. Mungkin itu yang bisa kutangkap. Tatapan yang biasa kudapat dari laki-laki saat bercumbu.
“Boleh lagi kan tante?”
Kuanggukan kepala. Bibir kami kembali bertemu. Dilumatnya perlahan. Kali ini ciuman Andre terasa lebih rileks. Aku mulai bisa menikmatinya. Bahkan sesekali kubalas lumatannya. Sambil berciuman, didorong aku perlahan. Sepertinya dia mau aku tiduran disofa. Kuikuti kemauannya. Kurebahkan tubuhku. Andre lalu menindihku. Tak lama kusarakan remasan dipayudara kananku.
“Hayoo, tangannya nakal,” bisikku ditelinganya, sambil tersenyum.
Andre balik tersenyum. Dia terlihat senang. Mungkin karena aku tidak melarang. Kurasakan lagi remasan. Kali ini dipayudara kiriku. Bibir kami lalu bertemu lagi, untuk kesekian kalinya.
“Ada apa?”
Aku bertanya saat dia berhenti mencium. Dan mendadak mengangkat tindihannya.
“Ntar dulu tante..”
Kulihat Andre membuka kaitan jeansnya. Berikut pula resletingnya. Tangannya lalu merogoh ke dalam boxer. Tertawa kecil aku melihatnya. Rupanya posisi penisnya kurang pas didalam sana. Masalah klasik laki-laki setiap kali ereksi. Andre menurunkan jeansnya sampai paha. Cahaya memang temaram, tapi bisa terlihat kepala penisnya mengintip. Mengintip dari balik boxer. Ukurannya ternyata cukup lumayan.
“Maaf tante, kalo Andre nggak sopan.” Dia tersipu lagi.
Aku tersenyum. “Nggak apa-apa, daripada nanti itunya kejepit.”
“Masih boleh ciuman lagi tante?”
“Lagi sekali aja ya. Besok kan tante musti bangun pagi.”
Coba kupancing lagi keponakanku. Sebenarnya tidak masalah kuladeni dia lebih lama. Hanya saja, ingin kulihat bagaimana reaksinya. Kulihat tadi penis Andre telah mulai ereksi. Itu berarti dia sudah horni. Ingin kulihat apakah dia bisa menahan birahi. Ternyata dia mengiyakan. Dia rupanya masih menghormatiku sebagai tantenya. Aku pun menghargai itu.
Bibir kami saling melumat lagi. Saking tidak sabarnya, Andre sampai lupa merapikan celananya. Entah lupa atau memang sengaja. Yang jelas, kini kurasakan ujung penisnya bergesekan dengan pahaku. Semakin lama semakin keras. Agaknya Andre memang sengaja melakukan itu. Dia terus menggesek sambil berciuman. Kumerasa sedikit tak nyaman, tapi kubiarkan saja.
“Oohh..” Kudengar desahan kecil. Lalu dilanjutkan dengan kata-kata, “Ma-maaf tante, An-andre keluar..”
Andre mengangkat tubuhnya. Begitu pula diriku. Langsung kusentuh paha kananku. Kurasakan ada cairan kental disana. Ternyata itu memang benar sperma. Kini tangan kiriku lengket olehnya. Momen itulah baru kutahu kalau Andre masih perjaka. Tidak hanya dipaha, spermanya juga mengenai kaosku. Buru-buru kuambil tissue basah. Kupakai membersihkan bercak-bercak yang ada. Kuberikan beberapa lembar kepada Andre. Boxer-nya terlihat perlu dibersihkan juga.
Selesai merapikan diri, berkali-kali Andre meminta maaf. Kukatakan padanya tidaklah apa-apa. Kuyakinkan terkadang hal seperti itu terjadi. Namun, tetap saja dia merasa bersalah. Suasana jadi terasa canggung. Berusaha kuajak dia ngobrol. Kuperlihatkan kalau aku baik-baik saja. Perlahan suasana pun kembali cair. Kami malah sudah melempar senyum, saat Andre berpamitan.
Kuantar Andre sampai gerbang depan. Disana dia minta satu kali ciuman lagi. Dan kuijinkan dia melakukannya. Dia menyalakan motor, dan kami saling melambai. Sosoknya pun lalu hilang digelapnya malam. Saat kembali ke ruang tamu, aku terkaget. Disana telah berdiri suamiku.
“Ada tante cantik yang abis nakal-nakalan nih.” Suamiku tersenyum.
Aku balas tersenyum. “Om-nya juga nakal, ngintip-ngintip.”
Kudekati suami. Dia memeluk dan menciumku. Aneh memang untuk sebuah percakapan suami istri. Namun tidak akan jadi aneh, kalau nyatanya semua ini ide suamiku. Dialah yang minta aku bercumbu dengan keponakanku. Ingin melihat langsung sih, tepatnya. Dia mengungkapnya saat dikamar tadi. Itu memang salah satu fantasi seksnya. Kubilang pada suami akan kucoba. Sedikit penasaran juga sebenarnya. Ternyata menggoda Andre tidak sesulit yang kusangka.
“Ma, papa horni banget nih.”
Kuraba-raba selangkangan suami. “Iya. Nih mama bisa ngerasain kok.”
“ML yuk.”
“Boleh, asal mama yang diatas duluan ya.”
Kami tertawa kecil bersamaan. Lalu bersamaan juga menaruh telunjuk dibibir. Tentu kami tidak mau si kecil terbangun. Itu hanya akan merusak momen kami. Berikutnya, tentu sudah dapat ditebak apa yang akan terjadi… diranjang.
Bersambung..
No comments:
Post a Comment