Wednesday, December 6, 2017

Dita 6 : Taruhan Iseng



“Ma, liat deh yang papa temuin di gudang.”

Suamiku berseru. Kulihat dia berjalan mendekat. Dia duduk di sofa. Aku yang sedang menyapu, lalu bergabung disebelahnya.

“Ada apa sih Pa?”

“Ini album foto mama kuliah dulu.”

Kulihat apa yang dipegang suami. Aku ingat album itu. Isinya foto-foto lama. Keliatan kuno dan gambarnya sudah agak kabur. Dulu kan belum ada camera digital. Belum ada juga sosial media, instagram. Suami mulai membuka satu persatu halaman album.

“Mama dulu cantik ya. Imut-imut manis gitu deh.”

“Kok dulu sih? Emang sekarang nggak?”

Aku merengut. Suami malah nyengir kuda melihatnya. Kesal, langsung kutepuk pundaknya.

“Iya, iya, sekarang masih cantik kok. Tambah cantik malah.”

“Ih gombal,” sahutku tersipu.

“Kok gombal sih. Nih buktinya si bunga kampus dikelilingi kumbang-kumbang jantan.”

Suamiku menunjuk sebuah foto. Disana aku sedang berpose dengan beberapa pria. Sebenarnya mereka adalah tim basket kampusku. Hanya memang sih disana aku satu-satunya wanita. Foto itu tidak sengaja dibuat demikian. Memang terjadi karena keadaan. Malah aku tidak ingat kalau masih tersimpan.

“Hayo papa cemburu ya?” Giliran aku yang nyengir.

“Ngapain cemburu. Kan sekarang bunga kampusnya jadi penghias ranjang papa tiap hari.”

Tertawa geli kudengar perumpamaan itu. Suami lalu mengecup keningku. Bergelanjut manja aku dipelukannya.

“Ini disamping mama si Reza kan?”

Kuperhatikan sosok yang ditunjuk suami. Iya, itu memang Reza. Salah satu sahabat dekatku. Teramat sangat dekat malah. Istilah ‘teman tapi mesra’, cocok menggambarkan hubungan kami. Melihat wajah itu lagi, bayanganku seketika melompat ke masa lalu.

***

“Suiit.. Suiit..”

Siulan terdengar dari belakang. Baru saja aku masuk ke dalam stadion, selesai membeli tiket. Hari itu diadakan final basket antar kampus. Mendengar siulan itu aku menoleh. Seperti kuduga, pelakunya adalah Reza. Tingkah usilnya pasti lagi kumat.

“Ngapain lu disini? Diusir ama pelatih ya?”

“Enak aja!” sahutnya sewot. “Gue nungguin elu. Fans favorit gue.” Dia nyengir.

“Sialan, nggak kebalik tuh?”

Begitulah hubungan kami. Reza hobi menjahiliku, demikian pula sebaliknya. Terkadang berakhir dengan adu mulut. Terkadang berakhir pula dengan adu bibir. Kami beda Fakultas, tapi satu Universitas. Umur kami tidak jauh beda. Sifat yang mirip mungkin penyebab kami bisa dekat. Terkadang teman-teman menyangka kami pasangan. Padahal bukan.

Melihat aku dan Reza berdebat, teman gengku mulai menjaga jarak. Diam-diam mereka kompak menjauh. Saat menyadari itu mereka sudah terlanjur jauh. Berusaha kucegah mereka pergi, tapi mereka malah melambai. Kini tinggallah aku dan Reza.

“Makasi loh rok pendeknya. Sering-seringlah Dit, buat nyegerin mata.”

“Dasar, ngejek ya?”

Bersiap aku memukul bahunya. Reza gesit bersiap menangkis. Bak pendekar kungfu kelas teri.

“Hei, hei, ini beneran muji kok. Sumpah.”

Geli aku melihat gaya Reza. Aku pun tertawa, demikian pula dirinya. Kupakai rok memang atas kemauan Reza. Beberapa kali sudah dia memintanya. Katanya dia bosan dengan gaya tomboy-ku di kampus. Hari itu kupenuhi karena dia berulang tahun. Sengaja kupilih rok jeans yang cukup mini. Aku tahu dia menyukainya. Hitung-hitung tidak perlu lagi keluar duit buat kado.

Untuk atasan, kuikuti juga kemauan Reza. Dia minta kupakai sesuatu yang ketat, tanpa lengan. Maka kupilih tanktop, dilengkapi cardigan. Paling tidak agar dadaku terlindungi dari mata nakal.

“Roknya udah. Terus soal taruhan kita bagaimana? Deal kan?”

“Deal, asal sore ini lu menang. Kalo nggak ya batal dong.”

“Ah soal menang sih gampang,” ucap Reza sambil menepuk dada.

Kemarin kami menyepakati taruhan. Sebuah taruhan iseng. Berawal dari keinginan Reza melihat isi braku. Dia sebenarnya sudah kuberi akses kebalik pakaianku. Akses terbatas sih memang. Hanya sebatas pakaian dalam, tidak lebih. Akses itu kuberi sebagai imbalan atas bantuannya. Saat itu aku sedang magang di bank, sambil mengurus skripsiku. Itu semata karena bantuan ayah Reza. Melalui perantara Reza, tentunya.

Dua minggu sudah Reza memakai akses itu. Dia rajin datang ketempat magang. Datang guna sekedar menyingkap pakaianku. Namun, lama-lama akses itu dirasanya kurang. Dia ingin lebih. Dia ingin sesuatu dibalik dalemanku. Tidak untuk dinikmati, hanya sebatas disentuh dan diraba. Saat kutolak, dia terus memaksa. Tercetuslah ide taruhan ini. Kalau ingin tubuhku, maka berusahalah dulu. Demikian pikirku.

Satu lagi taruhan kami. Reza minta kuoral, apabila bisa jadi top scorer. Hitung-hitung sebagai penyemangat, kusetujui saja tambahan taruhan itu. Kutahu itu akan sulit terjadi. Lawan kami malam itu adalah juara tahun lalu. Kini tergantung besarnya niat Reza untuk berusaha.





“Udah, balik ke lapangan sana. Pemain kok keluyuran di loket, kayak calo tiket.”

“Sialan!” Reza nyengir. “Tapi nggak ada ciuman penambah energi dulu nih?”

Kubalas cengirannya. “Boleh aja sih.”

Kutempelkan dua jari dibibir. Telunjuk dan jari manis. Lanjut kuarahkan kedua jari itu ke bibir Reza. Kulihat dahi Reza mengerut setelahnya.

“Yah, pelit bener sih lu Dit,” protesnya.

Tertawa aku melihatnya. Pasti dia mengharap bentuk ciuman yang lain. Reza terpaksa beranjak pergi, saat panitia memanggil namanya. Masih terlihat kesal karena kukerjai tadi. Kuberikan kecupan jauh waktu dia menoleh. Raut kesalnya pun berkurang sedikit.

Kemudian aku lanjut melangkah menuju tribun penonton. Kulihat dari kejauhan ketiga teman gengku. Mereka berkumpul dalam satu baris. Mereka melambai saat balik melihatku. Aku pun mendekati mereka.

“Gimana? Udah lu kasi cupika-cupiki semangat si Reza? Biar menang gitu kita.” Lisa, salah satu temanku bertanya.

“Ih apaan, emang Reza siapanya gue?”

Lisa lanjut berucap. “Halah, lu nggak usah boongin kita-kita. Diliat dari dandanan lu cuma ada dua kemungkinan. Lu mau jalan ama Reza atau lu mau jual diri.”

Perkataan Lisa itu, ditimpali dua temanku yang lain dengan tawa. Langsung kutepuk pundaknya, sebagai bentuk protes. Bahkan kini teman gengku pun menyangka yang sama. Kalau aku dan Reza berpacaran. Kunikmati saja gosip-gosip itu. Toh, aku juga tidak menjalin hubungan dengan siapa-siapa. Kebetulan aku sedang putus dengan Hendra, pacar yang kini jadi suamiku.

Pertandingan belum dimulai, kami isi dengan bergosip. Kami ngobrol dan tertawa. Tanpa sadar, agaknya suara kami cukup keras. Sampai-sampai menarik perhatian sekitar. Beberapa mata mulai melirik kami. Ketiga temanku sih cuek saja, begitupun diriku. Termasuk lirikan kearah pangkal pahaku. Diantara berempat, memang hanya aku yang memakai rok.

Penonton yang datang kebanyakan suporter lawan. Maklum di final kali ini, tim kami bukanlah unggulan. Tidak lama pertandingan pun dimulai. Kulihat Reza masuk ke lapangan. Dia kembali menjadi pemain inti. Reza melambai kearahku dan aku membalasnya. Terdengar suara ‘ciieee’ riuh dari sebelahku. Itu adalah ulah teman gengku. Kubalas godaan mereka dengan juluran lidah.

“Aduh kita ketinggalan nih Dit,” seru Icha yang ganti duduk disebelahku.

“Tenang Cha, waktunya masih banyak kok.”

Berusaha kutenangkan Icha. Siska disampingnya juga melakukan yang sama. Icha kelihatan tegang. Maklum hari ini pacarnya bermain, namun masih duduk dicadangan. Tim kampusku saat itu tertinggal empat bola.

Setengah quarter kedua, tim kampusku mulai panas. Reza mulai beraksi. Lemparan tiga poin dan slam dunk-nya terus menambah poin. Setiap kali mencetak poin, Reza menunjuk kearahku. Aku tersenyum melihatnya. Kuhargai semangatnya. Satu per satu jarak poin mulai terkikis. Sampai akhirnya tim kami ganti memimpin. Yel-yel suporter pun sahut-sahutan terdengar. Semakin lama suasana jadi semakin heboh. Kejar-kejaran poin terus berlangsung.

Memasuki akhir quarter keempat, kedua tim masih berkejaran poin. Menjelang detik-detik akhir, lemparan tiga poin Reza masuk. Tim kampusku menang. Kemenangan yang sangat berarti. Lima tahun penantian pun berakhir. Dan sebagai catatan, Reza mencetak poin terbanyak malam itu.

“HOREE!!”

Kami berempat berjingkrak kegirangan. Begitu pula penonton lain disekitar kami. Tanpa kami sadari, Reza sudah berdiri di depan tribun. Dia tersenyum. Kami pun melambai kearahnya. Reza memberi isyarat agar aku mendekat. Aku turun dari tribun dan mendekatinya.

“Tunggu aku ya Dit, jangan pulang dulu.”

Kujawab dengan anggukan.

“Hei Reza, Dita. Ayo ikut kita-kita foto.” Kapten tim berteriak kepada kami.

Tanpa meminta persetujuan, Reza menarik tanganku. Saat itu kebetulan hanya aku cewek disana. Dan tercetaklah foto itu. Fotoku bagai bunga diantara kumbang. Saat prosesi penyerahan piala dimulai, barulah aku kembali ke tribun. Tidak kulihat lagi sosok Reza. Sepertinya dia berbaur dalam lautan manusia dilapangan.

Penyerahan piala pun usai. Satu persatu penonton keluar dari stadion. Hanya satu dua penonton yang masih bertahan. Perlahan suasana mulai sepi. Ditengah kesunyian itu, dua orang sedang berbisik. Itu adalah aku dan Reza. Dia ‘menculik’ aku dari teman-temanku.



“Ngapain kita disini Rez?” Bisikku.

Dia tersenyum. “Ngambil hadiahku lah.”

“Serius? Di toilet cowok?”

Kami pun mulai berdebat. Reza ingin mencumbuiku ditempat ini. Jelas sajalah tidak kusetujui. Ternyata ini semua bukan soal taruhan. Ini soal mewujudkan fantasi. Fantasi di area publik. Reza pernah menceritakan fantasinya itu. Hanya saja, tak kusangka kalau akulah yang diinginkannya.

Dia terus meyakinkanku. Dia bahkan memelas. Melihat itu perlahan aku melemah. Sebenarnya tempat itu tidak terlalu buruk. Toilet pria itu terlihat bersih, sangat bersih malah. Hanya faktor keamanan saja yang kuragukan. Saat itu memang sepi. Hanya saja, bukan berarti tidak ada yang bisa mendadak masuk. Perdebatan itu pun berakhir dengan ciuman. Sebuah ciuman, sekaligus sebuah persetujuan.

Itu bukan ciuman pertama kami. Pertama kali terjadi setahun yang lalu. Ciuman itu terjadi dalam pengaruh alkohol. Itu juga kali pertama Reza menyentuhku. Dia sempat meremas payudara, dan merogoh kewanitaanku. Syukurnya tidak lebih dari itu. Reza cukup gentlement untuk tidak memanfaatkan situasi. Setelah hari itu, ciuman terjadi lagi beberapa kali. Itu pun sekedar ciuman iseng antar sahabat. Tetap dibibir tapinya.

“Boleh aku?” tanya Reza.

Dia sudah melepas kancing cardiganku. Sudah pula dia pegang ujung tanktopku.

“Terserah. Asal nggak pake buka baju aja ya.”

Reza tersenyum dan mengangguk. Diciumnya bibirku sekali lagi. Barulah kemudian tangannya beraksi. Berusaha aku tetap tenang. Menutupi kenyataan kalau aku mulai terangsang.

“Sshh.. sshh.. sshh..”

“Sshh.. sshh.. sshh..”

Aku mendesah tertahan. Bergiliran puting payudaraku dikulum Reza. Kali pertama kuluman ini terjadi. Dia begitu bernafsu menikmati keduanya. Kubiarkan dan kunikmati saja sensasinya. Toh, ini memang bagian dari taruhan kami. Dan dia memenangkannya.

“Toket lu bagus banget bentuknya. Toket paling padet yang pernah gue rasain,” puji Reza begitu mulutnya dan putingku terpisah.

Tersipu malu aku mendengarnya. Tersipu campur malu, tepatnya. Entah apa dia berkata yang sama kepada setiap wanita. Tapi kata-kata itu membuatku bangga. Kuyakin wajahku pasti merah merona saat itu. Bagaimana tidak, Reza menatap payudaraku begitu nanar. Bukan pertama kali payudaraku ditatap seperti itu. Namun, tatapan Reza terasa berbeda waktu itu.

“Gstring apa thong nih Dit?”

Makin memerah wajahku ditanya seperti itu. Entah karena nafsu, atau karena malu.

“Lu liat sendiri aja lah. Met ultah.” Godaku

Reza melempar senyum, sebelum tangannya beraksi. Rokku diangkatnya. Tersenyum lagi Reza melihat apa yang ada disana. Model favoritnya, tipis dan berenda. Tak tahan dia tuk meraba. Tak tahan pula tuk merogoh ke dalam. Reza rupanya memiliki tangan terampil. Dia bisa membuatku basah dalam waktu singkat. Dilorotkannya sedikit kain mungil itu, sebelum jongkok didepanku. Kini vaginaku ada dihadapannya. Mulailah dia menggunakan lidahnya.

“Sshh.. sshh.. sshh..”

“Sshh.. sshh.. sshh..”

Tidak lama dia ada dibawah sana. Reza lalu kembali berdiri. Dia tersenyum lagi.

“Memek lu percis seperti yang gue bayangin selama ini. Fresh dan wangi.”

Lagi-lagi aku tersipu dibuatnya. Akhirnya keinginan Reza tercapai. Sudah lama dia ingin melihat vaginaku. Keinginan itu kian menjadi, saat tahu aku telah bercinta. Dia sempat cemburu. Sulit baginya menerima hal itu. Sebenarnya, bisa saja kuserahkan diriku padanya. Tidak kupungkiri aku nyaman bersamanya. Namun, reputasi Reza membuatku berpikir dua kali. Beberapa cewek sudah diperawaninya. Temanku salah satunya. Tidak berminat aku menambahnya lagi.

“Gue udah ngeliat lu, sekarang giliran lu ngeliat gue Dit.”

Aku mengerti maksud perkataan Reza. Giliran kini aku jongkok didepannya. Kupegang karet celana pendek yang dipakai Reza. Perlahan kutarik turun. Menyusul kemudian boxernya. Dan kagetlah aku. Sampai-sampai aku harus menelan ludah. Ternyata rumor yang kudengar selama ini benar. Ternyata batang penis Reza memang besar. Pengaruh keturunan arab dari kakeknya mungkin. Namun, kucoba menutupi kekagetanku itu.

Batang penis Reza pun amblas dimulutku. Mulailah kukulum, sambil sesekali kukocok. Mulut, lidah dan tanganku bekerja bersamaan. Kujilati juga beberapa kali buah zakarnya. Sempat kulirik wajah Reza. Kulihat dia sesekali memejamkan mata. Menikmati layanan yang kuberikan.

“Sshh.. sshh.. sshh..”

“Enak Dit, enak banget.. sshh..”

Reza merancau keenakan. Sambil dielusnya kepala dan rambutku. Sementara Reza terlena, aku sendiri terpana. Terpana dengan penis miliknya. Makin lama batangnya makin sesak kurasa. Sungguh ukuran yang diluar kebiasaan. Lebarnya terasa pas digenggaman. Panjangnya terasa sampai kerongkongan. Terlintas pikiran nakal, membayangkan rasanya digenjot penis sebesar itu. Namun, kesepakatan kami sudah pasti. Tidak ada seks dalam taruhan ini. Aku pun tidak mau terkesan murahan, untuk meminta duluan.

Cukup lama kuberikan Reza layanan oral. Mulut dan tanganku mulai pegal. Namun, tidak ada tanda-tanda dia akan keluar. Maka kutarik lepas penis itu dari mulutku.

“Rez, lu jangan nahan dong. Capek nih mulut gue.” Aku merajuk.

“Gue nggak nahan kok, emang belum mau keluar aja.”

“Boong banget deh.”

“Sumpah Dit, gue emang susah keluar kalo cuma disepong doang.”

“Terus diapain lagi dong?”

“Dimasukin ke memek lah. Mau lu?”



Reza nyengir. Aku melengos kesal. Kugelengkan kepalaku. Penis itu masih mengacung gagah dihadapanku. Benar-benar menggoda iman. Jujur aku horni, tapi aku juga punya harga diri. Bisa saja kesempatan ini kugunakan. Kesempatan mendapat kenikmatan, tapi tidak terkesan murahan. Hanya saja, masih kucoba menahan keinginan. Lanjut lagi kulakukan kuluman dan kocokan.

Beberapa menit berlalu, terdengar suara ponsel. Nada dering ponselku. Kuhentikan mengoral, dan mengambilnya dari saku. Kuminta Reza menunggu sebentar. Rupanya telpon dari Lisa.

“Dimana sih lu Dit? Lama banget! Kita-kita nungguin lu sampai bulukan nih!”

Lisa langsung nyeroscos. Kalau sudah seperti itu, berarti dia sedang kesal. Aku pun jadi bingung menjawabnya. Kusadari aku harus berbohong.

“Gu-gue, gue.. masih ama anak-anak nih.”

“Pokoknya kita tungguin diparkiran lagi sepuluh menit. Kalo lu nggak dateng juga, kita tinggal.”

“I-iya, iya gue kesana sekarang.”

Percakapan berakhir. Kukatakan ke Reza teman-temanku mulai gusar. Kuminta untuk menunda apa yang kami lakukan tadi. Mungkin mencari waktu yang lebih pas. Mendengar itu Reza tegas menolak. Penisnya saat itu sedang tegang-tegangnya. Nanggung banget kalau berhenti sekarang, tolaknya lagi. Perdebatan terjadi lagi antara kami.

Lagi-lagi aku harus mengalah. Berjongkok lagi aku didepannya. Mulai lagi penis itu kukulum dan kukocok. Kali ini kulakukan dengan sekuat tenaga. Hanya saja, tetap tidak ada tanda-tanda ejakulasi. Padahal kurasa penis Reza sudah pada ukuran maksimalnya. Waktuku makin menipis. Maka kuputuskan untuk mengambil jalan terakhir.

“Udah lu masukin deh kontol lu,” ucapku segera setelah berdiri.

Reza terlihat kaget mendengarnya. “Se-serius lu Dit?”

“Iya serius. Udah buruan, waktu kita nggak banyak.”

Aku membalik badan. Kutarik nafas panjang. Kuturunkan celana dalam, kunaikan rokku. Ujung wastafel kujadikan penyangga. Posisi pantat kudorong sedikit kebelakang. Sengaja kuberbalik, agar Reza tidak melihat wajahku memerah. Memerah menahan horni. Horni membayangkan disetubuhi olehnya. Oleh batang besarnya.

Lama tidak merasakan apa-apa, aku menoleh. “Ayo dong Rez, masukin!”

Reza tersentak. Sepertinya dia sempat tertegun melihat pantatku. Mungkin juga melihat lubang kenikmatanku. Atau keduanya, entahlah. Memang memalukan kalau diingat-ingat. Belum pernah aku seagresif itu pada pria. Semoga saja Reza tidak mengingatnya.

“Uuuhh..!” Kami melenguh hampir bersamaan.

Penis Reza menerobos masuk. Reza mengerti untuk tidak langsung menusukkan penisnya. Dia melakukannya perlahan. Dia cukup tahu kalau vaginaku sudah basah, tapi belum cukup basah. Kewanitaanku pelan-pelan menyesuaikan ukuran batang Reza. Kali ini, dinding vaginaku harus merenggang lebih dari biasa.

Secara perlahan pula, Reza mulai melakukan genjotan. Awalnya terasa sedikit sakit. Percis seperti saat diperawani Hendra, malam itu. Lama-kelamaan syaraf-syarafnya mulai beradaptasi. Kenikmatan mulai mendera. Apalagi sudah lama aku tidak bercinta. Vaginaku sudah merindukan keberadaan penis didalamnya.

“Sshh.. sshh.. sshh..”

“Sshh.. sshh.. sshh..”

Sama-sama kami berusaha menahan desahan. Sadar kalau kami sekarang ada ditempat umum. Desahan yang terlalu keras, akan mengundang kecurigaan. Selama persetubuhan terjadi, tidak satu pun dari kami bersuara. Kami menikmatinya dalam diam. Dengan demikian, justru kami kian larut dalam kenikmatan.

“Aahh.. aahh.. oohh..”

Akhirnya tak dapat lagi kutahan. Desahan dan erangan lirih keluar juga dari mulutku. Kupegang ujung wastafel makin kuat. Seiring genjotan Reza yang semakin mengencang. Semakin kencang, dan terus semakin kencang. Tubuh kami kian hebat terguncang-guncang. Otot-otot kewanitaanku terasa menegang. Menegang dan terus menegang. Kurasakan momen itu akan datang. Diujung aku pun melenguh panjang. “OOOHH..!!”

Sementara Reza makin bersemangat. Dipegangnya pantatku erat-erat. Digenjotnya kewanitaanku dengan ganas. Tubrukan pantatku dan panggulnya menimbulkan suara. “Plaap.. plaap.. plaap..” demikian suaranya. Ditengah genjotan dahsyat itu, Reza menarik penisnya. Kutolehkan kepalaku kesamping. Kulihat dia sedang mengocok batang penisnya. Diarahkan ujungnya ke wastafel.

“AAAHH..!!” Reza berejakulasi.

Sperma Reza tumpah di wastafel. Salut aku dengannya. Reza cukup gentlement, untuk ukuran cowok playboy. Dia mengeluarkan spermanya diluar vagina, tanpa diminta. Berikutnya kami sama-sama mengatur nafas. Masih kupegangi wastafel. Sementara Reza bersandar pada dinding. Tubuh kami sepertinya masih terlalu lemas. Setelah merasa agak tenang, kurapikan diri kembali. Demikian pula yang dilakukan Reza.

“Barusan tadi itu bukan mimpi kan Dit?”

Reza memegang pinggangku. Kami saling bertatapan. Kugigit bibir bawahku, dan menggeleng kepala sebagai jawaban.

“Ki-kita beneran ngentot?”

Kali ini kuanggukan kepala. Ekspresi Reza berubah sumringah. Kulihat kebahagiaan dimatanya. Reza bahkan berkata kalau ini adalah hadiah ultah terbaiknya. Dia berhasil menambah namaku dalam daftarnya. Daftar cewek yang pernah disetubuhinya. Tidak kusesali sama sekali. Cukup sepadan dengan kenikmatan yang kudapatkan.

Dia menciumku. Kali ini sebuah ciuman hangat. Selepasnya, kami beranjak keluar dari sana. Dia menemaniku berjalan menuju parkiran. Teman-temanku langsung menyambut dengan omelan. Namun, bisa ditenangkan Reza dengan rayuan. Ditambah sebuah janji traktiran.



***

“Ma? Mama dengerin papa nggak sih?”

“Eh i-iya, kenapa Pa?”

Tersadar aku karena guncangan dilengan. Rupanya tadi aku sempat larut dalam kenangan. Dari sana baru kusadari, ternyata Reza-lah penis keduaku. Sempat terlupa karena sudah cukup lama. Meski singkat, tapi rasanya nikmat. Kejadian itu pertama dan terakhir bagi kami. Reza terus coba menggoda, kutolak dengan segala daya upaya. Aku tidak ingin seks merusak persahabatan kami. Cukuplah kesalahan itu terjadi sekali. Ajakan berpacaran pernah kupertimbangkan. Hanya saja, tak sempat kuiyakan. Dia keburu terikat pernikahan.

“Tadi papa bilang kalo papa dapet ketemu Reza di bandara.”

“Oya, kapan?”

Reza memang pindah setelah menikah. Keluar daerah kalau tidak salah. Reza menikahi salah satu dari sekian pacarnya. Itupun dilakukan dengan terpaksa, karena pacarnya itu hamil olehnya. Itulah kabar terakhir yang kudengar darinya. Saat itu aku telah kembali kepelukan Hendra. Pacar yang kini jadi suamiku.

“Minggu lalu, dia yang nyapa duluan malah. Dia nitip salam loh buat mama.”

“Oya, masa?” sahutku singkat lagi.

Berusaha aku terlihat biasa saja. Mengingat masa laluku dengan Reza, aku tidak mau membuat suami cemburu.

“Iya. Dia juga ngundang kita sekeluarga liburan di hotelnya. Dua minggu lagi kan long weekend tuh. Nggak ada salahnya kalo kita memenuhi undangan dia. Reza ngasi papa nomor telponnya, kalo mama mau papa bisa kontak dia langsung. Gimana Ma?”

Bingung aku harus menjawab apa. Kalau kutolak ide itu, suamiku terlihat begitu jumawa. Tidak ingin aku membuatnya kecewa. Kalau kuterima, artinya aku akan bertemu Reza lagi. Apa yang musti kulakukan kalau itu terjadi. Akhirnya kuberikan sebuah jawaban diplomatis.

“Te-terserah papa aja deh.”

“Oke, kalo gitu biar coba papa kontak Reza sekarang.”

Suamiku mengambil ponselnya. Aku sendiri masih terpaku. Terpaku dalam kebingunganku. Lalu terdengarlah percakapan kedua pria itu. Dua pria spesial dalam hidupku. Dunia memang tidak selebar daun kelor, ternyata.

Bersambung..


No comments:

Post a Comment

Mencoba Sex Dengan Singa

Namaku Sisilia, panggilanku Lia namun banyak juga yang menyapaku Sisilia. Kuingin cerita seks soal pengalaman seks dewasaku yang belom t...